Search This Blog
Selamat datang di blog ini! Jangan lupa share dan tinggalkan komentarmu mengenai artikel di blog ini. Berikan saran artikel, atau pun kritikmu. Enjoy Reading!
Featured
- Get link
- X
- Other Apps
Rekomendasi Cerita Innovel "Mon Amour Victoria" Bab 1-5
Halo semuanya. Kalian lagi suntuk? enggak ada kerjaan di rumah? Pengin baca novel yang selalu bikin penasaran? Cuss download aplikasi Innovel di hape lalu baca cerita Mon Amour Victoria sekuel dari Papa Mengapa aku lahir?
Bab 1
Victoria menatap aneh dirinya di depan cermin, dia yang sekarang mulai membesar, tubuhnya perlahan menggemuk. Untungnya saat pemotretan dia masih terlihat langsing karena manipulasi teknologi komputer. Jadwalnya semakin padat dan Érique mulai mengkhawatirkan kondisinya. Lelaki itu mendekati kekasihnya dan memeluknya dari belakang.
"Apa
yang kau pikirkan, sayang?" tanya lelaki itu sambil menciumi leher
wanitanya. Sesekali ia menghembuskan napasnya di sana. Victoria sangat
menyukai hal itu.
"Aku takut kak! Aku takut menghadapi ini
semua! Melahirkan bayi dan menjadi seorang ibu. Apa aku bisa
melakukannya?" tanya Wanita itu ragu. Ia menunduk karena tak ingin
melihat ekspresi kekasihnya. Érique mengamati wanita itu lewat cermin di
depannya. Dia membalikkan tubuh Victoria.
"Kau pasti
bisa, Sayang. Lihatlah Olive. Dia juga awalnya tak percaya dirinya.
Bagaimana sekarang? Dia sukses kan?" tanya Érique pada wanita itu. Dia
tak ingin Victoria banyak pikiran. Menurut apa yang diketahuinya,
kehamilan pertama sangat rentan. Dia Harus ekstra menjaga wanita itu.
"Terima
kasih ya kak. Kakak selalu ada buat aku dan calon anak kita." kata
Victoria tulus dari dalam hatinya. Érique tersenyum pada wanitanya.
"Ini
sudah kewajibanku, Sayang." balas Érique sambil menghadiahi kecupan di
kening wanita itu. Mereka memilih tinggal di rumah pinggir danau di
daerah Boston. Érique di tugaskan menjadi detektif di kota itu. Hingga
Victoria harus bolak-balik ke New York. Érique sudah meminta Victoria
berhenti bekerja. Tapi wanita itu sangat keras kepala dan tetap ingin
menjadi model. Meskipun dulunya ia terpaksa menekuni pekerjaan itu.
"Kakak."
panggil Victoria. Suaranya terdengar parau. Pelukan Érique membuatnya
tenang. Dia merasakan damai bagai terbang di udara.
"Ehmm." jawab
Érique. Lelaki itu memejamkan matanya menikmati harum rambut wanita di
dalam dekapannya. Rambut pirang yang membuatnya selalu rindu. Rambut
alamiah tanpa bantuan cat. Victoria menelusuri wajah lelaki itu.
"Aku
ingin naik perahu di danau itu." pinta Victoria manja sambil menunjuk
ke arah luar. Érique melempar senyum pada wanita itu. Apapun yang di
minta Victoria pasti ia lakukan. Dia sudah berjanji akan menjadi ayah
yang baik untuk anaknya dan suami teladan untuk kekasihnya.
"Baiklah."
kata lelaki itu. Tanpa menunggu lama, Dia mengangkat tubuh Victoria
keluar rumah. Tawa keduanya pecah, seolah dunia milik mereka berdua.
Cita-cita mereka untuk bersatu sudah terwujud meski tak ada ikatan
pernikahan.
Air danau sangat tenang, langit pagi sangat mendung.
Burung-burung beterbangan di udara. Ikan-ikan di danau saling mengejar
sama seperti pesta dansa di dongeng cinderella. Tanaman air sangat
cantik dan enak dipandang mata. Dan disanalah Érique, mendudukkan
Victoria diatas perahu yang terbuat dari lapisan gabus dan aluminium.
Di
atas sana ia memeluk tubuh Victoria sambil menggerakkan perahu kecil
itu. Semilir angin menyambar wajah keduanya, Dedaunan pohon di pinggir
danau berjatuhan. Daun kering itu membentuk sebuah perkumpulan membuat
danau semakin terlihat cantik. Victoria memejamkan matanya dalam dekapan
sang pria. Matahari mendung seakan tersipu malu menyaksikan kedua insan
itu.
"Kak Aku mencintaimu." Kalimat ajaib itu keluar dari bibir
Victoria. Sudah beberapa kalimat itu keluar dari bibirnya. Mendengar
ucapan itu membuat Érique merasa bahagia.
"Aku tahu dan aku tidak
akan pernah lupa. Cintamu sangat besar untukku dan aku bisa
merasakannya. Aku juga mencintaimu, sayang." balas Érique. Dengan
hati-hati tangannya. Memegangi dayung dan mengayuhnya hingga menimbulkan
bunyi. Bunyi-bunyi kecil dari air itu sangat meneduhkan dan menenangkan
jiwa. Bunyi sederhana yang mampu menyihir laksana mantra ajaib dari
dunia dongeng.
"Jika suatu hari aku jelek atau gemuk, Apa kakak
masih mencintaiku?" Pelukan Victoria semakin dalam hingga ia mampu
mencium aroma tubuh prianya. Pandangan mata Érique lurus ke depan.
"Cinta
kakak tidak akan pernah berubah. Kakak tidak bisa janji tapi akan
membuktikannya." Victoria merabah wajah lelaki itu lalu perlahan
bibirnya bersentuhan dengan bibir lelaki itu. Érique membalas ciuman itu
hingga membuatnya berhenti mendayuh. Perahu yang mereka tempati
bergerak statis tanpa bantuan.
Alam menjadi saksi kisah cinta
mereka yang panas. Angin bersorak bahagia saat melihat mereka bersama,
Angin itu mengantar kepergian perahu yang tak tentu arahnya. Victoria
melepas sentuhan bibirnya, tubuhnya melemah. Wanita itu memandang ke
arah lain. Pandangan matanya mengabur karena cairan bening yang
berkumpul di sudut matanya. "Aku tidak mau sendirian kak! Aku takut
kakak pergi! Apa aku boleh egois seperti ini?" Victoria bertanya. Nada
suaranya sangat rendah dan lembut. Wanita itu terlihat rapuh, ia takut
kehilangan lelaki di hadapannya.
Érique memiringkan kepalanya,
menatap Victoria dengan penuh cinta. "Kita akan selalu bersama, sayang!
Ingatlah bahwa kau dan kakak diciptakan untuk bersama. Jangan seperti
itu lagi ya. Kakak tidak akan pernah meninggalkanmu dan sedikitpun tidak
akan berniat melakukan hal itu." Érique menyeka air mata yang mulai
mengenang di mata Victoria. Dia tersenyum manis pada wanita itu. Kicauan
burung tak mereka hiraukan, mereka lebih nyaman saling memandang satu
sama lain. Érique lagi dan lagi memeluk Victoria.
Lelaki itu
mulai bersenandung, hanya untuk menghibur Victoria. Suaranya sangat bass
dan tidak terlalu bagus untuk ukuran penyanyi. Suara itu cocok dengan
profesinya sebagai detektif. Nyanyian lelaki itu membuat Victoria
tertawa bahagia. Bukan untuk meledek tapi karena bahagia Érique berada
di sampingnya dan bersedia menyanyikan lagu untuknya.
Puas
tertawa, Victoria tersenyum mengembang. Wanita itu merasakan kenyamanan
luar biasa bersama Érique. Tangan lelaki itu menyentuh perut kekasihnya.
"Aku akan melindungi kalian! Kalian tidak boleh takut lagi." ucap
Érique merujuk pada janin yang di kandung Victoria.
"Aku takkan
melupakan hari ini." kata Victoria beberapa saat. Dia terlalu bahagia
dan tak ingin waktu berjalan. Dia menginginkan hal manis itu terus
berulang dan tak ingin mengakhiri aktifitas mereka.
"Semua
hariku begitu indah saat bersamamu! Tak ada satu haripun yang akan
kulupakan. Semuanya tersimpan dalam memoriku. Tak akan dan tidak akan
pernah kulupakan." tegas Érique. Kalimat itu membuat Victoria tersentuh.
Gerimis
hujan mulai turun, membuat Érique khawatir dan membawa Victoria kembali
masuk ke dalam rumah. Sangat disayangkan oleh wanita itu, kebersamaan
mereka di danau harus berakhir karena hujan itu. Tapi dia juga mengerti,
bagaimanapun juga ia sedang mengandung. Wajar jika Érique
memperlakukannya bak porselen. Érique mengangkat tubuh Victoria masuk ke
dalam rumah.
Érique basah kuyup sedangkan Victoria tidak. Berada
dalam gendongan lelaki itu membuatnya terlindungi dari tetesan hujan.
Érique membuka pakaian basahnya hingga tatto salamander tampak di
punggungnya. Tatto berukuran kecil yang ia buat saat diterima menjadi
detektif. "Sayang! Tunggu sebentar, kakak akan buatkan susu untukmu!"
ujar lelaki itu. Victoria membalasnya dengan anggukan kepala.
Érique
melangkah menuju dapur dan meninggalkan Victoria di ruang tamu
sendirian. Victoria yang kedinginan membuka majalah di depannya. Rasanya
ia butuh sesuatu untuk di baca. Halaman per halaman ia buka. Wanita itu
sangat syok bercampur kaget saat melihat gambarnya penuh coretan
bertuliskan 'I Will kill you!' Dengan tinta merah seperti darah.
Victoria membuang majalah di tangannya. Ia ketakutan sampai refleks
berteriak. Érique yang ada di dapur segera menemuinya.
"Ada apa
sayang?" Tanya lelaki itu. Victoria menggeleng dan memeluk Érique dengan
sangat erat. Karena terlalu takut, Dia tidak bisa berbuat apapun.
"Ada
apa Victoria?" Pertanyaan ini terulang kembali. Érique benar-benar
penasaran. Namun Victoria tak memberikan jawaban. Jangan bilang Érique
jika ia menyerah dengan mudah. Dia seorang detektif handal. Matanya
mencari bukti di sekelilingnya hingga ia bisa melihat majalah di lantai.
Dia membuka majalah itu dan mendapati coretan yang menakuti
kekasihnya. Dia meremas Lembaran kertas itu, lalu bergerak memeluk
Victoria entah sudah berapa kali adegan itu terus berulang. "Kau tidak
perlu takut, sayang! Kakak tidak akan membiarkan orang itu membunuhmu
dengan mudah! Dia tidak akan bisa!" Ucap Érique pasti, penuh keyakinan.
Bab 2:
Érique menatap ragu ke arah Victoria. Dia barusaja mendapat panggilan
yang menyangkut pekerjaannya. Sebenarnya ia tidak rela jika harus
meninggalkan wanitanya dalam keadaan takut. Semalaman Victoria terjaga
dalam tidurnya. Namun, apalah daya dirinya. Dia hanyalah manusia biasa,
dan punya pekerjaan yang harus diselesaikan.
"Kakak boleh pergi!
Aku baik-baik saja disini!" Kata Victoria lembut. Rasa takut masih
menyelimuti dirinya. Dia mencoba menyembunyikan semua itu. Érique harus
bekerja dan tidak seharusnya ia menjadi beban bagi pria itu. Kedua orang
itu saling memandang dalam diam.
"Kakak sudah sewa asisten rumah
tangga. Sepuluh menit lagi akan datang. Maafkan kakak ya, Kakak harus
pergi sekarang! Telpon kakak jika terjadi sesuatu." Pinta Érique pada
kekasihnya. Victoria mengangguk sambil mengedipkan mata.
Érique
memeluk wanita itu sekilas lalu mencium keningnya. "Jaga dirimu di
rumah! Kakak akan telpon agensimu, seminggu ini kau harus cuti!" Tegas
Érique. Victoria pasrah, Dari dulu apa yang diucapkan Érique selalu ia
turuti. Karena dia tahu bahwa itu semua hanya untuk kebaikannya semata.
Érique melangkah menjauh darinya sambil melambaikan tangan. Lelaki itu
berangkat kerja dengan Roll Roycenya. Mobil mewah yang ia beli pada saat
gaji kelimanya.
Victoria menatap kosong kepergian lelaki itu.
Dia menutup pintu, tubuhnya kedinginan karena angin Boston mengenai
tubuhnya. Wanita itu berjalan ke ruang tamu lalu menyalakan tv. Hanya
aktifitas itu yang bisa ia lakukan. Sofa berwarna coklat yang empuk
terasa nyaman baginya. Kamarnya terasa hampa tanpa kehadiran Érique.
Jadi, dia memilih untuk tetap berada di ruang tamu.
Tok tok
Ketukan
pintu itu mengagetkan Victoria. Belakangan karena aksi teror, ia mulai
was-was dengan lingkungan sekitarnya. Langkahnya sangat lambat mendekati
pintu. Dia berusaha menghilangkan rasa takut yang menggerogoti jiwanya.
Jantungnya berdebar, dia merinding saat membayangkan hal buruk terjadi.
Victoria
merasa lega saat membuka pintu. Bukan penjahat dan sama sekali tidak
ada raut wajah penjahat. Dia melihat wanita paruh baya yang bisa ia
tebak sebagai asisten rumah tangga yang disewa oleh Kekasihnya. "Siapa?"
Tanyanya memastikan.
"Perkenalkan, Namaku Elizabeth Walker. Aku
adalah asisten rumah tangga yang disewa tuan Érique." Jelas wanita itu.
Victoria mengamati sebentar wanita itu.
"Masuklah! Anggap rumah
sendiri, maksudku kau tak perlu canggung. Aku adalah kekasih Érique."
Jelas Victoria. Dia membuka pintu dan mengantar Elizabeth.
"Kau
tidak tinggal ya?" Tanya Victoria. Wanita paruh baya itu tak membawa tas
pakaian. Mungkin ia disewa sampai Érique pulang kerja. Itu tidak
masalah bagi Victoria. Yang terpenting ia punya teman bicara. Dia hanya
ingin memastikannya.
"Tidak, disini saya hanya sampai jam tiga
sore. Oh ya, dimana dapurnya? Ini sudah waktunya minum susu. Tuan Érique
ingin aku memastikan kebutuhanmu." Kata Elizabeth. Dengan senang hati
Victoria menunjuk arah dapur.
"Disana! Tapi kurasa kau tidak
perlu membuatkannya. Aku hanya butuh teman bicara." Jelas Victoria.
Tentusaja Elizabeth tidak setuju. Pekerjaannya bukan hanya menemani
Victoria tetapi juga membersihkan rumah itu.
"Ini sudah tugasku!
Dan aku wajib melakukan pekerjaan itu. Tuan Érique ingin agar calon
bayinya tetap sehat." Balas Elizabeth. Victoria pasrah, apa yang harus
ia lakukan. Dari dulu Érique memang selalu protektif padanya. Ia hanya
perlu menuruti perlakuan istimewa kekasihnya itu.
Elizabeth
meninggalkan Victoria. Wanita tua itu berjalan menuju dapur dan
membuatkan susu pada wanita itu. Ada hal yang disembunyikan Elizabeth.
Raut wajahnya menjelaskan sesuatu yang aneh. Dia tidaklah sebaik
wajahnya. Dia membubuhkan sesuatu ke dalam gelas susu hamil Victoria.
Diruang
tamu Victoria menyalakan perapian agar tubuhnya bisa hangat.
Setelahnya, Dia kembali fokus menonton televisi. Elizabeth datang
membawa segelas susu untuk Wanita itu. "Ini susu hamilnya!" Kata
Elizabeth sambil mengulurkan susu pada Victoria.
"Terima kasih,
Elizabeth." Balas Victoria. Senyum terukir di bibirnya. Dia meletakkan
susu itu dimeja membuat semburat aneh semacam rasa kesal tercetak di
wajah Elizabeth. Victoria tak sempat melihat ekspresi itu.
"Minumlah!
Susu itu masih hangat!" Bujuk Elizabeth. Victoria menatapnya kembali,
tatapan itu sangat meneduhkan. Perhatian Wanita tua itu membuat Victoria
tersentuh. Andai ibunya sebaik Elizabeth.
"Kau perhatian sekali!
Aku akan meminumnya nanti! Aku tidak bermaksud menyinggungmu. Aku hanya
belum haus saja." Kata Victoria berharap Elizabeth mengerti. Wanita tua
itu diam. Bibirnya mengukir senyum tak suka.
"Baiklah." Balas
Elizabeth pasrah. Dia ikut menonton tv bersama Victoria. Kehadirannya
memang hanya untuk membuat Victoria tidak kesepian di rumah. Mengingat
bahwa Érique belakangan mulai sibuk karena pekerjaannya. Film yang
mereka tonton adalah film bergenre thriller, banyak pembunuhan disana.
Victoria mulai menggemari film seperti itu karena rasa kagumnya terhadap
kekasihnya, Érique.
"Kau suka seorang detektif?" Pertanyaan
Elizabeth membuat Victoria berbalik menatap wanita tua itu. Ruangan tamu
mulai menghangat karena perapian. Victoria mengangguk.
"Aku
sangat menyukainya. Detektif sangat keren sama seperti Érique. Mereka
adalah pembela keadilan. Mereka bisa menghukum para penjahat. Dan
mengungkap kebenaran." Jelas Victoria. Elizabeth tersenyum miring.
"Justru
aku sebaliknya." Kata Elizabeth membuat Victoria merasa bungkam. Untuk
pertama kalinya ia tak bisa berkata apapun. Perkataan Elizabeth sangat
tiba-tiba. Dan secara terang-terangan mengatakan tak menyukai profesi
kekasihnya.
"Kenapa?" Tanya Victoria. Dia penasaran dengan
jawaban Elizabeth. Karena menurut pengamatannya tak ada yang salah
dengan detektif. Seorang detektif sangat sempurna di matanya.
"Dua
tahun lalu, anakku di hukum mati karena kesalahan detektif. Anakku
dituduh membunuh, hatiku perih melihat anakku mati dengan cara yang
tidak hormat. Bahkan setelah mati, Para tetangga mengucilkanku dan
putraku. anakku di cap sebagai pembunuh. Hatiku bagai dirobek paksa. Kau
tahu, Aku hanya memiliki seorang putra dan dia meninggalkanku hanya
karena salah vonis. Itu semua karena detektif. Sekarang aku sendirian."
Jelas Elizabeth. Air matanya perlahan jatuh membasahi pipinya. Victoria
merasa bersalah telah memuja detektif di depan wanita paruh baya itu.
Victoria
memeluk wanita itu. "Maafkan aku! Aku sama sekali tidak tahu! Aku tidak
tahu kalau di negeri ini ada juga detektif dengan kinerja buruk. Aku
akan mengatakan pada Érique semua ini. Detektif itu harus di hukum!"
Tegas Victoria. Dia tidak percaya di dunia ini ada detektif seburuk itu.
"Tidak
perlu! Aku juga sudah mengikhlaskan putraku! Tak ada yang perlu
dilakukan. Percuma saja. Anakku sudah mati." Ucap Elizabeth dengan mata
berair. Victoria terus menenangkan wanita tua itu. Di dunia ini banyak
kejutan. Dia yang dulunya melihat sisi baik detektif menemukan sisi
janggal yang sangat buruk. Dia baru tahu ternyata ada kejadian seperti
itu di dunia kepolisian.
"Maaf, aku terlalu emosional!" Kata
Elizabeth pada Victoria. Justru Victoria merasa berterima kasih bahwa
wanita itu memberitahukan dirinya hal baru tentang dunia keamanan
Amerika.
"Tidak. Justru aku senang kau berbagi cerita." Balas
Victoria. Untuk menenangkan Elizabeth, ia mengganti channel tv dengan
acara pemberitaan. Dia tidak ingin Elizabeth, semakin tertekan.
"Minumlah
susunya! Kau tidak perlu mengkhawatirkanku." Kata Elizabeth. Victoria
setuju, tangannya perlahan memegangi gelas susu itu. Saat gelas itu
sudah berada di sudut bibirnya, Ketukan pintu membuatnya kaget. Gelas
itu jatuh di lantai. Teror belakangan ini membuatnya semakin penakut.
"Maafkan
aku Elizabeth! Nanti kubuat lagi. Kau tidak perlu repot. Oh ya, aku
buka pintu dulu ya!" Ucap Victoria. Belum sempat keluar, tangannya
dicekal oleh Elizabeth.
"Biarkan saya membukanya. Kau bisa
membuat susu! Anakmu pasti kelaparan di dalam sana! Itupun kalau kau
mau!" Kata Elizabeth, Victoria tersenyum. Wanita yang ada di depannya
sangat tegar, bahkan dalam keadaan sedih ia masih bisa membantu dirinya.
Wanita yang jarang ia temui. Tidak seperti ibu kandungnya yang kini
terasa asing.
"Baiklah, Jika itu tamu penting. Suruh saja ia masuk!" Kata Victoria. Elizabeth mengangguk.
Victoria
melangkah masuk ke dapur. Wanita itu membuat susu untuk janinnya.
Érique bisa marah kalau anaknya tak diberi nutrisi apalagi sudah ada
Elizabeth yang menjadi kaki tangannya. Membayangkan bagaimana ekspresi
marah Érique membuatnya tersenyum. Dia sangat menyukai laki-laki itu.
Elizabeth membuka pintu.
"Ini rumah tuan Érique?" Tanya seorang
wanita. Elizabeth menatap tajam wanita di depannya. Ia tidak suka
melihat kehadiran orang itu. Semua rencananya akan berantakan jika
Victoria melihat kedatangannya.
"Ya, kau asisten rumah tangga
kan? Maaf, Tuan Érique sudah menemukan pembantu. Dan orang itu adalah
saya. Jadi pergilah!" Pinta Elizabeth lalu menutup pintu dengan kasar.
Wanita yang ada diluar tidak mengerti dan memilih pergi dari tempat itu.
"Siapa
yang datang?" Tanya Victoria. Wanita itu duduk dan meminum susu
hamilnya. Elizabeth memandang sinis Victoria saat tidak melihat dirinya.
Seolah ada dendam yang tersembunyi dalam hatinya.
"Hanya sales
yang menawarkan barang." Jawab Elizabeth. Victoria sama sekali tak
merasa curiga. Menurutnya orang yang pernah merasakan sakit tidak akan
membiarkan orang lain merasakan sakit yang sama. Victoria menyamakan
semua orang seperti yang ia rasakan. Masa kecilnya buruk maka ia tak
akan membiarkan masa depan anaknya buruk juga.
***
Sore
hari, Érique pulang dengan kemeja yang cukup berantakan. Kancing baju
bagian atasnya lepas hingga bulu dadanya sedikit tampak. Tubuhnya terasa
lelah setelah bolak-balik dari TKP ke kantor polisi. Belum lagi di
tempat kerjanya ia selalu dilibatkan dengan Bella. Setiap ada kasus
pembunuhan ia harus membicarakannya pada dokter Bella untuk mengetahui
penyebab kematian mayat. Hal itu membuatnya kurang nyaman mengingat
Bella adalah mantan kekasihnya. Victoria akan marah jika tahu soal itu.
Saat ia sampai di rumah, Elizabeth sudah pergi.
"Kakak sudah
pulang?" Tanya Victoria saat melihat calon ayah dari janinnya. Mereka
sudah bertunangan tapi masih enggan untuk menikah. Érique tak menjawab.
Dia mendekati Victoria lalu mencium bibir wanitanya sangat lama seolah
hal itu memberinya kekuatan.
"Aku lelah! Kau masak apa, sayang?"
Tanya Érique. Lelaki itu melepas sepatunya tepat di depan Victoria yang
berada di ruang tamu. Rasanya malas melepas sepatu itu di rak sepatu.
"Sandwich.
Kakak suka?" Tanya Victoria sambil mengambil sepatu Érique untuk dibawa
ke tempat penyimpanan sepatu. Kemudian membawakan sendal untuk pria
itu. Setiap hari ia melakukan hal itu. Sudah kebiasaan pria itu
merepotkan dirinya. Érique memeluk wanitanya dari belakang. Pria itu
kembali menciumi leher Victoria.
"Temani kakak makan!" Bisiknya.
Victoria mengangguk setuju hingga keduanya masuk ke dalam ruang makan.
Érique makan sangat lahap, dia merasa sangat kelaparan. Melihat tingkah
kakaknya membuat Victoria tersenyum manis. Dimatanya kakaknya sangat
lucu dan menyenangkan.
"Jangan lihat kakak seperti itu! Lebih
baik kau makan! Ini!" Pintanya sambil menyodorkan sepotong sandwich ke
arah Victoria. Wanita itu membuka mulutnya hingga Sandwich itu masuk ke
dalam lambungnya. Keduanya tersenyum satu sama lain.
"Kak Érique
lucu!" Kata Victoria. Berada di dekat Érique membuat dirinya merasanya
nyaman dan terlindungi. Dia tidak takut lagi dengan apapun. Apalagi
setiap hari Elizabeth menemaninya.
"Kalau tidak lucu, nanti kamu
pergi meninggalkan kakak!" Balas Érique. Baginya Victoria adalah
segalanya bagaikan oksigen yang membuatnya bertahan hidup. Victoria
adalah bagian dari hidupnya yang tak bisa ia lepaskan. Victoria melempar
selembar tissue pada Érique, dia merasa kakaknya bergombal. Tingkah
Victoria itu memancing Érique berjalan ke arahnya.
"Kita ke kamar
yuk!" Bisik Érique pada Victoria. Victoria mengangguk hingga keduanya
berjalan masuk ke dalam kamar. Disana Victoria menyalakan televisi. Jam
seperti ini biasanya Érique suka menonton acara Smackdown live di
channel cbstv. Sebenarnya Victoria tidak suka menontonnya. Namun, Érique
selalu memintanya bersama. Lelaki itu nyaman menonton sambil memeluk
tubuh Victoria. Dan hal itu juga disukai Victoria. Bukankah mereka
saling menguntungkan.
"Kak acaranya sudah mau mulai!" Teriak
Victoria. Érique yang tadinya ingin mandi terpaksa menunda aktifitasnya.
Pria itu mendekat Victoria dan duduk di sofa. Mata Érique memberi kode
pada victoria.
"Sini!" Panggil Érique pada wanitanya. Dengan
senang hati wanita itu mendekat hingga otot bisep milik Érique
memerangkapnya dalam sebuah dekapan hangat. Victoria memejamkan matanya
dalam dekapan kekasihnya. Hal yang selalu ia nantikan setiap harinya.
"Bagaimana
tadi? Apa asisten rumah tangganya baik?" Tanya Érique dengan mata fokus
melihat pergulatan antara Randy Orton vs John Cena.
"Ehmm..
Dia baik bahkan akrab padaku! Dia juga mengatakan secara terang-terangan
bahwa dia tidak suka detektif!" Jelas Victoria. Seketika Érique merasa
tegang. Matanya memandangi Victoria yang sedang memejamkan mata. Menurut
yang ia ketahui orang semacam itu biasanya menyimpan dendam. Érique
curiga tapi tidak menampakkannya, takut Victoria salah paham dan
menganggapnya berprasangka buruk.
"Oh ya, Baguslah kalau begitu.
Siapa namanya?" Tanya Érique. Dia mengorek informasi sedetail mungkin.
Dia harus tahu seperti apa asisten rumah tangganya. Berdasarkan yang ia
dengar, Orang itu berbahaya.
"Namanya Elizabeth! Saat ia datang
dia bahkan membuatkanku susu." Jawab Victoria. Érique mulai khawatir.
Pergulatan di tv seakan tak menarik lagi. Victoria mungkin saja berada
dalam bahaya.
"Dan kau meminum susu itu? Apa yang kau rasakan
setelahnya?" Tanya Érique. Pertanyaan dari Érique membuat Victoria
merasakan bahwa kakaknya curiga. Dia membuka matanya dan melepas pelukan
kakaknya. Dia butuh bicara serius.
"Kakak curiga dengannya?
Kakak tolong jangan berprasangka buruk! Elizabeth adalah wanita yang
baik. Dia membuatkanku susu lalu aku meminumnya. Sekarang aku tidak
apa-apa. Tolong jangan terlalu paranoid kak!" Kata Victoria. Nada
bicaranya menjelaskan ketidaksukaan Victoria dengan sikap curiga
kakaknya. Érique berusaha menenangkan Victoria. Setelah hamil Victoria
lebih emosional.
Érique memeluk wanita itu. Dia menenangkannya
dengan bujuk rayu manisnya. "Maafkan kakak ya! Oke, kakak tidak akan
curiga lagi. Yang penting kamu bisa jaga diri. Kakak mencintaimu." Kata
Érique dengan nada lembut. Tak lupa ia mengecup puncak kepala Victoria.
Setidaknya wanitanya tenang dulu. Dia terus memikirkan cara untuk
menyelidiki Elizabeth. Dia masih curiga pada wanita yang dimaksud
Victoria itu.
Bab 3:
Victoria bangun dari tidurnya lebih awal dari biasanya. Wanita itu
bahkan lupa kapan ia tidur semalam, mungkinkah saat ia menemani Érique
menonton WWE Smackdown? Dia menggeleng, kenapa ia harus memikirkan hal
sepele itu. Yang terpenting bahwa sekarang ia sudah bangkit kembali
setelah beberapa jam mati kecil. Dia melangkah menuju dapurnya yang
kecil dan sederhana. Hanya ada beberapa tempat penyimpanan bahan makanan
kompor, pemanggang roti, dan perabotan rumah tangga lainnya. Victoria
membuka kulkas dan mengambil roti gandum di dalam sana. Kemudian roti
itu di panggang beberapa saat. Setelah selesai, Ia memasukkan potongan
sossis rasa sapi di tengah roti itu. Dia sangat menikmati kebersamaannya
bersama Érique. Sungguh takdir yang membahagiakan.
"Sayang! Kamu
dimana? Bisa ambilkan handuk?" Teriakan Érique selalu menghiasi
paginya. Pria itu sudah terbiasa masuk kamar mandi tanpa membawa handuk.
Victoria hanya bisa sabar melayani pria itu. Dia sama sekali tak pernah
mengeluh, tidak seperti kaum feminisme yang selalu menuntut kesetaraan
gender. Menurut Victoria, gerakan perempuan itu cukup berlebihan apalagi
di zaman post modern ini. Apalagi yang bisa di tuntut, toh perempuan
sekarang sudah di akui kebebasannya. Dia bisa menulis karya, memimpin,
dan masih banyak lagi.
Victoria membuka lemari bajunya dan
mengambilkan handuk berwarna merah untuk kakaknya. Setelah handuk itu
ditangannya. Dia melangkah menuju kamar mandi dan mengetuk pintu kamar
mandi. "Kak ini handuknya! Jangan lupa lagi!" Ucap Victoria dari luar
pintu.
"Tidak dikunci, Sayang. Kau bisa masuk." Balas Érique.
Victoria membuka setengah pintu. Tangan kanannya masuk ke dalam kamar
mandi sambil menyodorkan handuk berwarna merah untuk kakaknya. Érique
malah membuka lebar pintu itu membuat Victoria sontak kaget.
"Kakak
jorok!" Ledek Victoria karena kesal. Érique hanya bisa menertawainya.
Wanita itu memang selalu menjadi incaran godaannya. Lelaki itu mengambil
handuk dari kekasihnya.
"Tidak perlu berlebihan, Sayang! Kau
sudah melihatnya setiap malam." Ucap Érique dengan kalimat ambigunya.
Victoria enggan melihat pria itu. Dia memilih pergi.
"Mandi yang
bersih ya kak! Kalau bisa otaknya dicuci sekalian. Biar tidak ada
kotorannya lagi." Balas Victoria. Dia melangkah meninggalkan lelaki itu.
Érique terus saja menertawai tingkah Victoria. Wanita itu sangat lucu
dan menyenangkan baginya.
Sepuluh menit kemudian, Érique sudah
rapi dengan jas kerjanya. Victoria memasangkan dasi bergaris-garis di
atas kemeja putih prianya. "Kapan Elizabeth datang?" Tanya Érique. Dia
berencana menemui orang itu dulu. Dia tidak ingin Victoria dijaga oleh
orang yang salah. Victoria melototinya dengan curiga.
"Kakak
masih curiga?" Victoria kembali bertanya. Érique hanya tersenyum, tangan
kirinya mengambil roti panggang buatan Victoria lalu melahapnya.
"Tidak,
hanya saja kakak harus tahu bagaimana orangnya. Kakak bisa tahu mana
orang jahat dan baik." Jawab Érique dihadiahi pukulan oleh Victoria.
Alasan pria itu cukup masuk akal mengingat dia sangat protektif
terhadapnya.
"Sebentar lagi dia datang. Tapi aku ingatkan, jangan
berani menuduhnya di depanku." Tegas Victoria. Wanita itu tidak mau ada
kesalahpahaman sama seperti anak Elizabeth hingga harus di hukum mati.
Dia menginginkan kakaknya menjadi detektif yang baik dan tidak
semenah-menah.
"Oke, Sayang! Aku berjanji." Balas Érique sambil
mencium kening, mata, hidung, dan bibir Victoria. Segala sesuatu dari
wanita itu selalu menjadi obsesinya. Dia menginginkan Victoria
selamanya, tak ada yang lain.
Beberapa saat kemudian sosok yang
di tunggu-tunggu datang. "Itu pasti Elizabeth! Aku buka pintunya dulu ya
kak!" Ucap Victoria pada kekasihnya, Érique mempersilahkannya.
"Baiklah,
jangan lama-lama. Kakak tidak bisa jauh dari kamu jika berada di
rumah." Balas Érique membuat Victoria seketika merona dengan gombalan
datar pria itu. Érique kembali menyantap roti panggang buatan Victoria.
Otaknya terus saja memikirkan Elizabeth yang menurutnya berbahaya bagi
Victoria. Seperti apa orangnya. Dalam satu hari saja Victoria sudah
terdoktrin dan memihak Wanita tua itu. Bagaimana jika sebulan, apa
Victoria akan melupakan tentang Érique dan dunia detektifnya. Sosok itu
muncul di depan mata Érique.
Érique mengamati Elizabeth dari
bawah sampai atas tubuhnya. Érique sempat menangkap mimik tidak suka
pada wanita tua itu. Namun saat itu juga Elizabeth menyapanya dengan
sangat ramah. "Nama saya Elizabeth tuan." Ucap Elizabeth, Érique
tersadar dan menjabat tangan orang itu.
"Aku Érique Givanno."
Balasnya. Pria itu berusaha menyembunyikan rasa curiganya. Dia harus
berpura-pura lebih dulu agar Victoria tetap aman. Setidaknya hanya untuk
hari ini, Lagipula belum tentu juga wanita itu penjahat. Hanya saja
Érique merasa ada yang janggal, terlebih lagi Elizabeth tidak menyukai
detektif.
"Aku titip Victoria padamu. Dia sangat keras kepala,
jadi pastikan dia tidak melakukan hal yang aneh." Kata Érique pada
wanita itu. Victoria senyum-senyum sendiri melihat tingkah posesif
kakaknya.
"Baiklah tuan." Balas Elizabeth dengan lembut. Érique
bangkit, ia sudah melihat wajah orang yang menjadi asisten rumah
tangganya. Tidak ada kejahatan yang tergambar di wajahnya. Tapi siapa
yang tahu, Don't judge book by it's Cover. Jika ada masalah ke
depannya, ia akan menangkap orang itu jika terbukti sebagai penjahat.
Pria itu mendekat pada Victoria.
"Aku pergi dulu ya sayang."
Bisik Érique pada wanita itu. Sebelum pergi, ia mengecup puncak kepala
wanita itu. "Hati-hati!" Balas Victoria. Érique perlahan jauh dari
pelupuk matanya.
"Dia sangat tampan, bukan?" Tanya Victoria
meminta pendapat Elizabeth. Mungkin kalimat itu bisa mencairkan suasana
pagi mereka. Wanita tua itu tersenyum.
"Tentusaja, Dia sangat
serasi untukmu." Jawab Elizabeth. Victoria merasa senang atas responnya,
tingkat kepercayaannya semakin dalam pada wanita itu. Dia merasa
Elizabeth adalah wanita yang baik, tidak seperti yang dikatakan Érique.
Èlizabeth adalah perempuan inspiratif bagi Victoria.
Victoria tertawa renyah. "Kau bisa saja, Elizabeth!" Ucap Victoria.
"Panggil
Ellie saja, Elizabeth terlalu panjang dan kurang enak di dengar." Kata
Wanita itu. Victoria mengangguk setuju, hal itu memang membuatnya
sedikit kesulitan dan kurang nyaman di ucapkan olehnya.
"Baiklah,
Ellie." Balas Victoria. Keduanya saling tersenyum satu sama lain.
Kehadiran Elizabeth membuat Victoria tak kesepian lagi. Bahkan rasa
takut yang belakangan menggerogotinya kini sirna bagai ditelan bumi.
"Perutmu
mulai buncit. Kau tidak berniat periksa ke dokter?" Tanya Elizabeth.
Saran Wanita itu membuat Victoria tersadar. Memang sudah waktunya
mengecek kandungannya. Belakangan ini dia lupa karena Érique pun mulai
sibuk mengurus beberapa kasus pembunuhan.
"Kurasa itu akatifitas
yang baik untuk hari ini." Jawab Victoria di sertai senyum merekah. Dia
juga penasaran dengan bentuk anaknya di dalam rahimnya, Apakah laki-laki
ataukah perempuan. Wanita itu setuju dengan saran Elizabeth.
"Aku
ganti baju dulu." Tambah Victoria. Dia meninggalkan Elizabeth yang
berdiri diam di ruang tamu. Dia benar-benar terkesan dengan ide yang di
usulkan Ellie.
***
Érique mengamati dengan seksama mayat
yang ada di depannya. Pagi ini ia berada di rumah sakit melakukan otopsi
pada mayat akibat pembunuhan. Dia tidaklah sendiri. Ada dua rekannya
yang bernama Anne dan Stefan. Di tambah lagi dengan Dokter Bella, mantan
kekasih Érique. Pagi ini Érique merasa suram, dia harus bertemu dengan
wanita yang pernah mengkhianatinya.
"Menurut hasil pemeriksaanku,
James tidak mati karena kecelakaan. Aku menemukan ada bekas suntikan di
bagian lengannya. Ini adalah pembunuhan terencana." Jelas Bella kepada
tiga detektif di depannya.
"Aku sudah menduganya." Balas Érique
dengan nada bicara datar. Seolah ia menganggap Bella hanyalah dokter
yang baru ia kenal. Bella terus memandangi Érique. Dia tidak bisa fokus,
saat melihat pria itu, dia malah teringat kenangan manis bersamanya.
Kenangan yang tidak akan pernah terulang lagi.
"Anne, Stefan!
Tolong cari bukti apapun yang menyangkut James di TKP. Kita harus
mengungkap semua ini." Pinta Érique pada kedua rekannya.
"Baiklah,
aku serahkan seluruh riwayat kematiannya padamu." Balas Anne lalu
menarik tangan Stefan untuk pergi. Kini hanya ada Érique dan mantan
kekasihnya. Érique melirik dan mencari sesuatu di balik mayat di
depannya. Dia memeriksa kantong jas mayat lelaki itu.
"Kau sudah
berubah Rik!" Seru Bella membuat Érique mengalihkan pandangannya menuju
arah mantan kekasihnya. Bella menyilangkan tangannya di depan dada.
Sementara Érique menghentikan aktifitasnya pada mayat yang ia tangani.
"Semua
orang bisa berubah karena pengkhianatan." Balas Érique. Dia sengaja
menyindir wanita di depannya. Perkataan itu benar-benar menusuk hati
Bella. Memang salahnya hingga hubungan keduanya berakhir, tapi itu juga
salah Érique yang lebih mementingkan adiknya dan menomorduakan dirinya.
"Aku
masih mencintaimu, Rik. Aku menyesal dengan semua yang telah terjadi."
Kata Bella berharap lelaki itu masih menyimpan rasa terhadapnya.
Pernyataan Bella membuat Érique tersentak kaget.
"Aku mencintai
Victoria dan sudah melupakanmu. Ini hanyalah hal sepele dan aku tidak
mau kau berharap padaku lagi." Balas Érique. Jawaban itu sungguh
menyakitkan bagi Bella. Mati-matian ia berusaha mengungkapkan
perasaannya dan dia berakhir dengan penolakan. Nasibnya benar-benar
malang. Dunia tidak berpihak padanya lagi.
Dua jam mereka
terperangkap dalam diam. Érique hanya menanyakan soal mayat itu dan
tidak peduli dengan perasaan Bella. Mungkin seperti itulah sakit Érique
saat ditinggalkan. Mereka keluar dari ruang mayat beberapa jam kemudian.
"Kudengar
Victoria hamil, Selamat atas kalian. Kuharap kita bisa berteman." Kata
Bella pada Érique. Perlahan Érique melirik Bella, ide untuk
memanas-manasi wanita itupun muncul dalam otaknya. Érique mengukir
senyum bahagia.
"Aku sangat bahagia. Sebentar lagi aku menjadi
seorang Ayah. Untungnya anakku dikandung wanita yang baik. Kurasa
Victoria cocok denganku. Aku bisa menemukam kecocokan diantara kami. Dia
tidak pernah membantah perintahku dan juga menyayangiku." Jelas Érique.
Mendengar itu membuat Bella merasa jengkel.
"Kuharap kau
memperlakukannya sebagai wanita bukan seperti anjing." Ucap Bella lalu
mencium pipi pria itu. Mata Érique terbelalak, ia ingin marah. Namun
Bella pergi dengan langkah cepat. Lelaki itu diam membatu.
Seluruh
kejadian itu disaksikan langsung oleh kedua mata Victoria. Saat dimana
Érique tersenyum dan saat Bella menciumnya. Apa yang ia lihat seakan
Érique bahagia. Namun hati dan pikirannya terus mengelak apa yang ia
lihat. Érique tidak mungkin selingkuh darinya. Apalagi ia sedang
mengandung anak lelaki itu.
"Apa kita tidak pulang sekarang?"
Tanya Elizabeth. Barusaja mereka keluar dari ruangan dokter kandungan.
Kabar bahagia tentang bayinya sehat dan berjenis kelamin laki-laki
seakan sirna, berubah menjadi kesuraman. Victoria diam membuat Elizabeth
ikut melirik ke arah Érique. Wanita paruh baya itu memahami apa yang
dirasakan Victoria. Dia cemburu melihat Érique bersama wanita lain.
"Kupikir
dia selingkuh!" Seru Elizabeth. Érique berjalan pergi tanpa tahu
disekitarnya ada Victoria. Dia sama sekali tak berpikir wanitanya pergi
ke rumah sakit yang sama. Victoria berbalik dan melotot ke arah Ellie.
"Tidak,
Ellie! Érique laki-laki yang baik, Dia bertanggungjawab. Dia tidak akan
selingkuh! Kami bahkan tak pernah bertengkar." Jelas Victoria. Ellie
tertawa saat mendengar ucapan Victoria membuat wanita itu tak mengerti.
Apa yang lucu dan kenapa ellie tertawa.
"Justru karena kalian
tidak pernah bertengkar, itulah adalah tanda bahaya dalam hubungan
kalian. Érique mungkin saja baik di depanmu agar kau tidak curiga.
Lihatlah saat dia pulang, bagaimana perlakuannya padamu." Ucap Ellie.
Victoria berusaha mencerna kalimat Wanita paruh baya di depannya.
Perkataan itu ada benarnya juga.
"Érique sejak awal memang baik
padaku, ia sama sekali tak berubah. Dia selalu protektif padaku dan aku
percaya kesetiaannya." Sangkal Victoria, meski otaknya terus saja
memikirkan ucapan Ellie. Wanita tua itu tersenyum miring padanya.
"Baiklah,
Dalam hubungan memang seharusnya ada saling percaya satu sama lain.
Kuharap kau bisa bahagia dengannya. Tapi ingatlah, laki-laki itu
serakah. Ketika ia menemukan Wanita yang lebih cantik ia akan
berpaling." Balas Ellie. Mereka berdua pulang ke rumah.
***
Victoria
terdiam, Sampai di rumah ia gelisah bahkan Ellie bisa menyadari akan
hal itu. Satu jam yang lalu Wanita paruh baya itu sudah pergi. Kini
Victoria sendiria. Dia mondar-mandir tidak jelas di ruang tamu. Wanita
itu menggigit kukunya karena merasa gugup. Sesekali ia melirik jam
elektronik di dindingnya. Sekarang waktunya Érique pulang ke rumah.
Dua
jam menunggu, bel pintu rumahnya berdering. Victoria membuka pintu dan
melihat sosok Kakaknya yang tampan dimatanya. Érique mencium bibirnya
sekilas sama seperti kebiasaannya selama ini. Lelaki itu melepas
sepatunya dan memasuki ruang tamu bersama wanitanya.
"Bagaimana
harimu, Sayang? Menyenangkan?" Tanya Érique sambil memainkan rambut
Victoria. Wanita itu merasa gugup dan takut, apa yang ia lihat tadi
siang membuatnya terbebani. Dia mulai ragu dengan kesetiaan Érique
ditambah lagi pernyataan Elizabeth.
"Cukup menyenangkan."
Jawabnya seolah ia baik-baik saja. Érique merasa ada yang aneh dengan
Victoria tapi tidak tahu letaknya dimana. Apa yang salah.
"Ada
yang salah hari ini? Sesuatu yang buruk terjadi?" Tanya Érique dengan
mata membulat seolah meminta jawaban memuaskan. Lelaki itu memeluk tubuh
Victoria agar wanita itu rileks. Tubuh Victoria tampak sangat tegang.
Ia tahu ada sesuatu yang tersembunyi.
"Tidak. Tidak ada sama
sekali. Aku hanya terlalu kesepian." Jawab Victoria. Dia ragu dan tidak
tahu apa yang harus dilakukan. Érique melepas pelukannya dan memandangi
manik matanya. Victoria tetap teguh tidak mau bicara.
"Baiklah."
Balas Érique. Dia tahu bahwa Victoria belum siap berbagi. Lelaki itu
mengajak kekasihnya masuk kamar. Di dalam kamar ia mengganti pakaiannya
dan Victoria sendiri duduk pasrah di pinggir ranjang.
"Kakak
masih mencintai Bella?" Pertanyaan Wanitanya membuat Érique
mendekatinya. Ternyata masalah Bella yang mengusik Victoria. Dia mulai
mengukir senyum dan membelai rambut pirang Victoria.
"Tentusaja
tidak, Sayang! Kakak mencintaimu lebih dari apapun." Jawab Érique.
Victoria sedikit tenang, namun ia harus mengetes kakaknya. Sampai dimana
lelaki itu mencintainya. Dia tak ingin ada kebohongan dalam
kehidupannya.
"Kapan terakhir kali kakak bertemu Bella?" Tanya
Victoria. Érique terbelalak mendengar pertanyaan itu. Itu adalah
pertanyaan yang sulit ia jawab. Dia takut Victoria marah jika tahu Bella
menjadi partner kerjanya.
"Aku tidak pernah bertemu lagi
dengannya selama berpisah karena..." ucapan Érique terputus saat melihat
Victoria meneteskan air mata. Entah apa yang dipikirkan wanitanya itu.
"Kenapa
menangis? Ada apa Victoria?" Tanya Érique. Victoria diam membisu tak
mengeluarkan sepatah katapun. Kebohongan dari kakaknya membuatnya tidak
percaya. Kenapa lelaki itu tega membohonginya. Victoria memeluk Érique
dengan linangan air mata.
"Dalam bodohku, aku mencintaimu kak!
Aku akan setia meski aku bukanlah satu-satunya. Aku akan bertahan sampai
hati ini tak mampu lagi menahan sakit yang kau berikan." Batin
Victoria.
"Jangan tinggalkan aku kak!" Bisik Victoria di telinga
Érique. Pengkhianatan tidak akan ia balas dengan pengkhianatan. Ia
tetap memilih setia meski hatinya yang rapuh tak menginginkan semua
aktifitas bodohnya.
Érique mengelus punggung Victoria. Dia
berusaha meyakinkan wanita itu bahwa ia bisa menjaga dan melindunginya.
"Apa yang membuatmu ragu? Kakak berjanji tidak akan pernah
meninggalkanmu. Tolong kita jangan bahas ini lagi. Serahkan semuanya
pada kakak! Kakak mencintaimu lebih dari apapun, Percayalah!" Pinta
Érique. Victoria merasa nyaman dengan sentuhan pria itu.
"Aku
akan percaya semua kata yang terucap dari bibir kakak." Ucap Victoria
diselah pelukannya. Hatinya menangis berteriak. Sungguh menyakitkan saat
ia tahu kakaknya mulai membohonginya. Satu kebohongan itu merusak
dinding kepercayaannya selama ini.
"Aku akan menutup mataku
dengan semua yang sudah kusaksikan, Akan kututup telingaku ketika orang
lain menjelek-jelekkan dirimu. Aku diam agar kau tetap berada
disampingmu. Aku akan percaya setiap kebohonganmu. Karena cintaku selalu
tertuju pada satu orang yang sama." Batin Victoria.
Érique
merasa lega dengan ucapan Victoria. Setidaknya wanitanya tidak lagi
memikirkan persoalan mengenai Bella. Dia akan terus mempertahankan
kepercayaan Victoria yang telah ia khianati dengan kebohongan.
Bab 4:
Secangkir kopi hangat menemani pagi Érique. Dia sedang membaca
majalah harian New York Times di bagian depan rumahnya. Keadaan Victoria
kemarin membuatnya tak bisa tertidur. Ada hal yang terus terbayang di
kepalanya. Victoria begitu sedih saat nama mantan kekasihnya keluar dari
bibirnya. Dia adalah detektif cerdas, sedikit tahu tentang psikologi.
Sikap Victoria menimbulkan tanda tanya besar di kepalanya. Dia
memikirkan cara agar Victorianya kembali seperti dulu. Ini semua terjadi
semenjak Elizabeth hadir dalam hubungannya. Wanita tua itu adalah
dalang dari segala perubahan dalam diri Victoria.
Matahari
Boston terbit begitu terang. Sinarnya seakan berwarna Orange. Érique
meletakkan majalah yang ia baca lalu bangkit dari duduknya. Pria itu
menelepon seseorang. "Halo Rik!" Sapa Seseorang melalui sambungan udara.
"Halo
Anne! Mungkin hari ini aku tidak ikut dalam proses interogasi tim. Aku
akan mengirimkan laporan hasil otopsi lewat e-mail. Apa kau tidak
apa-apa?" Tanya Érique. Dia begitu mengkhawatirkan Victoria sampai
memilih tidak berangkat kerja. Dia ingin berlama-lama dengan wanitanya.
"Tidak
apa-apa Rik! Aku mengerti, kau pasti punya masalah. Kalau boleh tahu
apa yang terjadi?" Tanya Anne lagi. Dia adalah partner kerja Érique,
wanita yang sangat pengertian. Dia dan Stefan adalah partner kerja yang
baik untuk Érique.
"Victoria membutuhkanku hari ini." Jawabnya
singkat. Anne bisa mengerti, dia juga perempuan. Meski belum punya anak,
tapi ia tahu bahwa wanita hamil sangat emosional di awal kehamilannya.
Dan ini pertama kalinya ia mendengar Érique tidak masuk kerja hanya
karena Wanita itu. Biasanya Érique tetap bekerja dan menyerahkan
semuanya pada asisten rumah tangganya. Masalahnya pasti serius begitulah
pikiran Anne.
"Baiklah, Semoga kau dan Victoria bisa
bersenang-senang." Balas Anne. Wanita itu tidak ingin Érique bersedih.
Ada rasa tersendiri yang tumbuh di hati wanita itu. Hampir 6 tahun ia
bekerja dengan Érique dan ia bisa melihat bagaimana sisi menyenangkan
dari pria itu.
"Selamat bekerja, Anne. Terima kasih telah
mengerti keadaanku. Kau adalah partner kerja yang baik." Puji Érique.
Anne tersenyum sendiri mendengarnya. Di dalam hatinya tumbuh keinginan
untuk bersama pria itu. Sungguh mustahil baginya. Érique dengan tegas
mengatakan mereka hanyalah partner kerja. Begitu miris dan menyakitkan
baginya. Adakah yang lebih menyakitkan dari penolakan secara halus?
Mungkin.
"Sama-sama. Tidak usah mengejekku dengan kalimat itu.
Aku bukan partner kerja yang baik. Suatu hari aku akan menuntut. Jadi
jangan senang dulu. Oh ya Rik, Aku ada pekerjaan. Aku matikan
panggilannya ya!" Jelas Anne sedikit bercanda lalu kembali serius.
Bicara terlalu sering pada Érique hanya membuat hatinya yang rapuh
menumbuhkan harapan palsu. Harapan yang tak akan terwujud.
"Baiklah,
Sampai ketemu besok." Kata Érique. Dia benar-benar bersyukur mempunyai
teman seperti Anne. Dia sangat baik membuat dia merasa bersalah karena
sering memamfaatkan kebaikan wanita itu. Semilir angin berhembus menyapa
Érique.
"Sampai ketemu besok." Balas Anne lalu mematikan
panggilan Érique. Dia sangat bersyukur punya teman sebaik Anne. Dia bisa
merasakan perasaan wanita itu padanya. Jika ada kesempatan Érique
selalu menegaskan bahwa mereka hanya teman kerja, Tidak lebih. Dia
bukanlah satu dari banyak lelaki yang tidak peka.
Érique kembali
menikmati kopinya. Biasanya Victoria bangun pagi, tapi hari ini tidak
dan hal itu adalah tanda akan kerenggangan hubungan mereka. Érique
sempat tenang karena Victoria mengatakan semuanya semalam bahwa Bella
adalah penyebabnya dan malam itu juga mereka menyelesaikannya. Namun,
atmosfer ketidakharmonisan ditunjukkan Victoria. Wanita itu tidak
semanja dulu, harusnya ia lebih manja karena kehamilannya. Seakan
Victoria menjauhinya.
Érique melangkah masuk ke dalam kamar. Dia
melihat Victoria telah bangun, matanya bengkak seperti habis menangis,
rambutnya di gulung ke atas hingga membuatnya sangat cantik. Érique
menatap kosong wanita itu di depan pintu. Menyaksikan gerak-gerik
wanitanya. Victoria tidak menyadari jika sepasang mata memperhatikannya.
Érique mendekat hingga wanita itu tersadar.
"Kak Érique belum
berangkat?" Tanya Victoria dengan suara lemah. Dia sudah berusaha tidak
menampakkan kesedihannya. Tapi itu sangat sulit karena Érique adalah
lelaki cerdas. Dia bisa membaca situasi.
"Belum." Jawabnya.
Langkah Érique tidak berhenti sama sekali. Semakin dekat sampai Victoria
berada di depannya. Dia menangkup wajah Victoria lalu menciumi bibirnya
penuh cinta. Victoria sama sekali tak membalas hingga Érique melumat
bibir itu. Ini sama seperti penolakan Victoria. Sungguh menyakitkan hati
Érique, apa yang salah. Air mata lelaki itu jatuh begitu saja
beriringan dengan pelampiasan cintanya yang membara lewat sentuhan manis
bibirnya. Cairan bening itu menerpah pipi Victoria hingga ia sadar
dengan keadaan Érique.
"Kenapa kakak menangis?" Tanya Victoria.
Érique menghapus air matanya. Dia mengutuk dirinya sendiri karena sifat
emosionalnya. Kenapa ia harus menangis di depan Victoria. Hembusan nafas
keluar dari mulut Érique.
"Hanya terharu saja." Ucapnya singkat.
Érique tidak tahu harus bagaimana menjelaskan perubahan Victoria. Hal
sederhana seperti tadi saja wanita itu enggan membalasnya. Seakan jijik
pada dirinya. Victoria bangkit dari tempat tidur meninggalkan Érique dan
mulai bercermin. Érique sangat menyayangkan tindakan Victoria. Seolah
perasaannya tak berarti. Lelaki itu bangkit dan memeluk Victoria dari
belakang. Dia membuang segala harga dirinya demi wanitanya.
"Kau
mulai berubah semenjak kemarin. Kakak takut kau pergi. Aku ingin kita
menikah, Kakak tidak mau kau pergi Victoria." Ucap Érique membuat
Victoria berbalik hingga kedua mata bertemu.
"Aku tidak bisa
menikah. Aku nyaman hidup seperti ini kak. Sama sekali tidak ada yang
berubah." Balas Victoria. Pandangan matanya menggambarkan sakit di
hatinya.
Érique memejamkan matanya frustasi. Victoria tiba-tiba
saja menyandarkan kepalanya di dada Érique. Sementara Elizabeth datang
dan masuk ke dalam kamar. Langkah wanita tua itu terhenti karena melihat
keduanya. "Kalau ingin masuk ketuk pintunya dulu!" Kata Érique dengan
nada tidak suka. Victoria menatap mata kakaknya. Dia tidak suka ucapan
kasar kakaknya.
"Maaf, aku pikir tuan sudah pergi." Ucap
Elizabeth. Melihat wanita itu membuat Érique kesal. Dia tidak suka
Elizabeth, ada hal yang disembunyikan wanita itu. Dia telah merasuki
Victoria, mengubah Victoria dalam hitungan hari.
"Tidak, Ellie!
Harusnya aku yang minta maaf. Maafkan Érique yang sudah bicara kasar
padamu." Balas Victoria. Érique semakin jengkel. Andai Elizabeth
laki-laki mungkin sejak tadi sudah ia tonjok. Belum sempat Ellie bicara,
Érique sudah memotongnya.
"Pulanglah! Aku hari ini tidak
bekerja." Kata Érique datar. Victoria menatap tajam prianya itu.
Bagaimana bisa dia tidak bekerja. Dia biasanya tidak seperti itu. Érique
adalah lelaki pekerja keras. Lelaki profesional yang mampu membedakan
dunia kerja dan kehidupan pribadi.
"Kak Érique!" Tegur Victoria.
Dia tidak mengerti kenapa pria itu mencurigai wanita sebaik Elizabeth.
Érique menghembuskan nafasnya. Victoria telah terpengaruhi oleh wanita
paruh baya itu.
"Tidak apa-apa Victoria. Aku bisa pulang saja."
Kata Elizabeth pada Victoria. Di dalam hati wanita itu menggerutu. Ada
sesuatu hal buruk yang ia rencanakan. Ellie melangkah pergi, Victoria
ingin menahannya. Tapi Érique menghalanginya. Sekarang ini Victoria
lebih nyaman dengan Elizabeth ketimbang kekasihnya, Érique.
Érique
membawa Victoria ke ruang makan. Victoria masih kesal dengan tingkah
pria itu pada Elizabeth. Matanya memandangi kakaknya tidak suka. "Duduk
disini dan Jangan menatap horor kakak seperti." Ucap Érique lembut lalu
melangkah menuju dapur. Victoria pasrah dengan perlakuan kakaknya.
Érique
memanggang roti lalu memtong sayur mentah dan sossis untuk dimasukkan
ke dalam roti. Tanpa sengaja tangannya teriris pisau. Dengan cepat ia
mengatasinya. Dia mengambil perban yang ada di dalam kulkas lalu
menutupi lukanya. Sangat sulit melakukan pekerjaan dapur dengan satu
tangan. Dia menata sarapan untuk Victoria selama dua puluh menit.
Pekerjaan itu tidak semudah yang ia bayangkan. Biasanya ia melakukannya
dengan cepat tapi hari ini adalah yang paling lama baginya.
Dia
membawakan sepiring roti dan segelas susu untuk Victoria. "Ini sarapan
untukmu dan baby!" Seru Érique sambil mengukir senyum. Sikap manis
kekasihnya membuat Victoria tersentuh. Andai tak ada Bella, mungkin
dialah wanita paling beruntung di dunia ini.
"Aku masih kenyang
kak." Kata Victoria. Perutnya terasa penuh, Makanan apapun tak bisa
masuk ke dalam lambungnya. Pernyataan Victoria membuat Érique merasa
usahanya sia-sia. Sepiring roti di tangannya tak tahu harus di apakan.
Tanpa pikir panjang, Érique membuang makanan itu ke tempat sampah.
Rasanya ia menyerah dengan perubahan Victoria. Ingin marah, tapi tidak
tahu harus marah dengan siapa.
"Kak, kenapa rotinya dibuang?"
Tanya Victoria. Dia tidak menyangka kakaknya melakukan tindakan itu.
Érique begitu menyayangi Victoria, lebih baik ia marah pada dirinya
sendiri daripada marah pada wanita itu.
"Sarapannya tidak enak,
Rotinya hangus. Itu tidak bergizi lagi." Jawab Érique datar. Lelaki itu
berjalan meninggalkan Victoria. Dia ingin mandi, jika terus berada di
dekat wanita itu, ia akan marah. Air bisa memadamkan api amarahnya.
Victoria sedang hamil dan sensitif, ia mengerti sikap wanita itu.
Victoria
diam dan sadar akan sikap acuhnya terhadap lelaki itu. Érique biasanya
lebih dewasa, tapi hari ini dia mungkin lelah menghadapi sikapnya yang
kekanakan. Dia tak bisa membohongi kakaknya jika ia baik-baik saja.
Érique mengorbankan pekerjaannya demi dirinya, menyiapkan sarapan
untuknya. Namun, tak ia hargai. Wanita itu menyesal, ia ikut melangkah
masuk ke dalam kamar.
Rasa takut mulai merasuk dalam jiwanya.
Perbuatan baik kakaknya ia sia-siakan. Sekarang ia berdiri di depan
kamar mandi, menunggu lelaki itu mandi. Ia harus minta maaf pada Érique,
Dia bodoh telah membuat kakaknya marah. "Kakak maafkan aku." Batin
Victoria
Érique merendam tubuhnya di bath tube. Dia belum siap
menghadapi sikap acuh Victoria lagi. Wanita itu butuh waktu untuk
melihat dirinya. Ada kesalahan yang ia lakukan hingga Victoria
menjauhinya. Lelaki itu memejamkan matanya dan menikmati terpaan air
pada tubuhnya. Rasa nyaman menyelimuti dirinya. Lelaki itu enggan untuk
menyelesaikan aktifitas mandinya. Dia terbuai dalam guyuran air. Ini
adalah aktifitas mandi paling lama yang ia lakukan. Sudah lebih dua jam
ia berada di dalam sana. Victoria tidak akan sudi menemuinya. Dan lebih
buruknya hubungan mereka lebih renggang lagi.
Victoria merasa
mual. Di depan kamar mandi ia berdiri sangat lama. Perutnya terasa
dililit dan di gulung. Perlahan ia mendekati sisi ranjang. Tak ada yang
bisa ia muntahkan. Kamar mandi pun digunakan kakaknya. Wanita itu
memegangi perutnya. Ia tak bisa menahan rasa mualnya lagi dan
memuntahkan cairan bening yang begitu banyak di lantai. Sakit perutnya
masih terasa. Ia bangkit untuk membersihkan muntahannya. Dia takut
kakaknya marah ketika melihat aksi joroknya itu.
Victoria
meringis karena sakit melandanya. Sangat sulit baginya untuk bergerak,
sekuat tenaga ia membersihkan muntahannya dengan handuk yang ada di atas
kasur. Disana banyak tumpukan handuk, mungkin Érique yang menaruhnya
sebelum mandi. "Victoria!" Seru Érique. Victoria berbalik dan melihat
lelaki itu. Dengan cepat ia membersihkan muntahannya. Lelaki itu tidak
suka kamar mereka kotor.
Hati Érique bagaikan terpotong Chainsaw.
Melihatnya dengan kondisi menyedihkan membuatnya sesak. Kenapa wanita
itu tidak memanggil dirinya di kamar mandi. Dia dengan asyiknya mandi
dan melupakan Victoria sendiri. "Aku akan membersihkannya kak. Aku
tidak akan muntah lagi. Ini yang terakhir. Kumohon jangan marah." Ucap
Victoria dengan nada lemah. Dia begitu lemah karena sakit melandanya.
Érique
menggeleng. Dia mengangkat tubuh Victoria naik ke atas ranjang dan
membaringkannya. "Jangan berjuang sendiri lagi, Sayang! Kakak akan
melakukan apapun untukmu, kakak bisa memenuhi kebutuhanmu. Sekarang diam
dan tunggu kakak disini. Kakak ambil obat dulu." Tegas Érique pada
wanitanya. Kenapa ini semua terjadi. Selama bertahun-tahun ia tak pernah
membiarkan Victoria sendirian. Dan sekarang, betapa bodohnya ia yang
memilih keegoisannya dan mengabaikan Victoria.
Érique memberikan
pil dan roti agar sakit perut wanitanya sembuh. Victoria merasakan
kehangatan yang menjalar di seluruh tubuhnya. Dia tidak akan
menyia-nyiakan perhatian Érique. Apa yang ia lihat sebelumnya belum
tentu benar, Érique berbohong mungkin karena ada alasannya. Seperti
dirinya yang dulu berbohong bahwa ia selingkuh dan hampir membuat mereka
nyaris berpisah selamanya.
Victoria meminum pilnya kemudian
memeluk Prianya dengan sangat erat. Dia tidak ingin lelaki itu pergi
darinya. "Maafkan aku kak, aku terlalu kekanakan, aku tidak bisa dewasa
dan menghargai kakak. Aku bodoh dan tidak sepintar kakak." Ucap Victoria
sambil mengeluarkan cairan beningnya.
"Jangan bicara seperti
itu, Sayang! Kau tidak bodoh. Kau tidak pernah salah. Semua salah kakak,
harusnya kakak tidak perlu emosional dan meninggalkanmu seperti tadi."
Kata Érique menenangkan wanitanya. Kedua tangannya memerangkap tubuh
mungil Victoria, pria itu mencium kening Victoria.
"Jangan
tinggalkan aku kak. Kakak boleh bertemu Bella asal tidak meninggalkanku.
Kakak boleh menikahinya yang terpenting bahwa aku masih ada dalam
daftar orang penting hidup kakak. Kakak bersamaku dan membagi waktu
dengan Bella." Kata Victoria membuat Érique tidak mengerti.
"Apa
maksudmu, sayang? Apa maksudnya dengan berbagi dengan Bella? Kau tahu
sesuatu." Tanya Érique penasaran. Victoria menyadari apa yang keluar
dari bibirnya. Dia terdiam, perlahan pandangan matanya menelusuri mata
hitam kakaknya.
"Aku ... aku sudah tahu kak! Aku tahu bahwa kak
Érique masih mencintai Bella. Kakak bertemu dengannya setiap bekerja.
Aku tidak apa-apa kak. Aku ..." ucapan Victoria karena jari telunjuk
Érique menempel di bibirnya.
"Oke, kakak jujur sekarang. Ternyata
kebohongan kakak yang membuat kau seperti ini. Bella adalah dokter yang
bekerja sama dalam mengotopsi mayat dan kakak terlibat dengannya dalam
hal pekerjaan. Tidak lebih, tidak ada kata cinta. Karena kakak hanya
mencintaimu." Jelas Érique. Mendengar hal itu Victoria kaget. Jadi
selama seharian ia hanya salah paham pada Érique. Penyesalan kembali
menyelimuti dirinya. Victoria mengeratkan pelukan kekasihnya. Sakit
diperutnya mulai berkurang. Mungkin karena pil pemberian kakaknya mulai
bekerja. Ditambah lagi pelukan hangat dari prianya.
Betul kata
Elizabeth bahwa di dalam hubungan haruslah ada rasa percaya satu sama
lain. Victoria semakin yakin bahwa Elizabeth adalah wanita yang baik.
Untuk sekarang ia berterima kasih atas saran wanita tua itu.
Bab 5:
Suhu udara kota New York lebih dingin dari biasanya. Musim dingin
telah berlalu di gantikan oleh musim semi. Musim yang diyakini sebagai
musim berbahagia. Dinginnya NYC sangat mencekam, membuat siapapun
menggigil karenanya. Di kota inilah Victoria dan Érique berada. Mereka
jauh-jauh berkendara dari Boston karena permintaan Ayah kandung
Victoria, John Rick. Pria itu ingin anaknya datang menemuinya, ada hal
penting yang ingin ia bicarakan. Érique awalnya menolak karena prihatin
dengan kondisi wanitanya. Namun, Victoria terus memohon. Alhasil Érique
menurutinya. Tidak ada yang lebih penting dari kebahagiaan Victoria.
Di
depan mata mereka sudah ada rumah besar berlantai tiga. Nyaris bukan
rumah melainkan kumpulan apartemen. Rumah itu hanya dihuni ayah dan
ratusan pelayan. Jika dipikir-pikir, rumah itu mungkin bisa menampung
penduduk satu kota Brooklyn. Victoria melangkah masuk dengan digandeng
oleh Érique.
"Hai Sayang! Kau sudah datang?" Tanya John pada
anaknya. Lelaki itu mencium pipi Victoria lalu memeluknya sebentar.
Victoria merasa asing dengan perlakuan ayahnya. Dia tak menjawab dan
memilih diam. Maklum saja, ia sejak kecil tinggal bersama Givanno, ayah
kandung Érique. John tersadar akan kehadiran Érique.
"Siapa dia,
sayang?" Tanya John lagi. Dia menampakkan mimik tidak suka dengan
Érique. Hal itu sangat terlihat jelas. Victoria berbalik sebentar
menatap kekasihnya. Sedetik kemudian ia kembali fokus pada ayah
kandungnya.
"Dia, Érique. Dia adalah tunanganku Dad. Sebentar
lagi kami akan punya anak." Jelas Victoria dengan bahagia. John menatap
perut anaknya dan baru menyadari bahwa wanita itu hamil. Érique
mengulurkan tangannya dan memperkenalkan dirinya. Namun, John tidak
menggubrisnya hanya mengatakan bahwa lelaki itu tidak usah formal
padanya. Reaksi ayahnya itu membuat Victoria sadar akan ketidaksukaannya
pada Érique.
John mempersilahkan keduanya masuk ke dalam rumah
mewahnya. Victoria menggenggam erat tangan Érique lalu memandangnya
dengan mata berbinar cinta, Dia berusaha menguatkan prianya.
Bagaimanapun ia juga mengerti perasaan Érique. Karena terabaikan itu
tidaklah menyenangkan. "Ketahuilah bahwa aku mencintaimu,kak." Bisik
Victoria. Semoga kalimat itu bisa menenangkan kakaknya. Érique tersenyum
kecil dengan tingkah manis Victoria.
Mereka duduk di sofa
berwarna hitam bercampur kuning keemasan. Suasana sangat tegang. Di
depan mereka sudah ada sebotol tequila dan jus orange khusus untuk
Victoria. John menatap sinis ke arah Érique seakan lelaki itu tak pantas
untuk putrinya. John meneguk tequilanya. "Bagaimana karir modellingmu
nak?" Tanya John pada putrinya.
"Aku suka segala tentangnya, tapi
aku akan resign sebentar lagi. Ini semua demi kesehatanku. Kak Érique
sangat mengkhawatirkanku." Jelas Victoria. John merasa kesal karena
perkataan anaknya. Karir putrinya hancur karena mengandung anak pria di
depannya.
"Sayang sekali. Padahal karirmu hampir menyamai
supermodel." Ucap John. Dia sengaja menyindir Érique yang telah membuat
anaknya sukses menjadi wanita tanpa karir. Satir atau sindiran ayahnya
bisa dirasakan Victoria. Aura ketidaksukaan itu sangat jelas semenjak
kedatangan mereka.
"Karir bukanlah kebahagiaanku. Aku lebih
bahagia jika menjadi pendamping hidup kak Érique. Dia adalah pria yang
baik dan pengertian." Ucap Victoria memuji kekasihnya. Dia tidak ingin
ayahnya salah paham dengannya. Ide hidup bersama memang ada dalam daftar
rencana hidupnya. Bukan karena paksaan Érique atau siapapun. Raut wajah
John menggambarkan rasa jengkelnya.
"Kau bisa mendapat pria yang
lebih baik." Kata John tanpa memikirkan perasaan Érique. Perkataan itu
seakan menikam dan mencabik-cabik hati Érique. Penyataan itu sama saja
dengan ia tidak pantas bersanding dengan Victoria. John kembali meneguk
tequilanya. Rasanya puas melihat ekspresi kesal Érique.
"Érique
adalah yang terbaik." Balas Victoria cukup lantang, membuat John terdiam
sejenak karena perkataan putrinya. Dia tidak suka anaknya bersama
detektif yang jelas berbahaya pada Victoria. Dia sudah mengenal Érique
cukup lama. Namun, tak mengenali wajahnya. Saat ia tahu Érique datang
bersama Victoria. John terus memancing amarah lelaki itu agar Victoria,
anaknya melihat sisi buruk lelaki itu. Nyatanya sejak tadi Érique tak
melakukan kekerasan apapun.
"Kau sudah masuk ke dalam zona
berbahaya, nak." Balas John. Perkataan itu membuat semangat Érique
sedikit menurun. Perkataan Ayah Victoria memang benar. Dia telah membawa
Victoria masuk ke dalam dunia berbahaya. Itu benar dan sangat benar,
penjahat tidaklah bodoh. Mereka pintar dan menyalahgunakan
kepintarannya. Kalau penjahat bodoh tidak mungkin orang pintar seperti
Érique harus terjun menangkapnya.
"Aku tidak percaya dengan zona
berbahaya. Selama masih ada kak Érique, aku akan selalu berada di zona
aman." Kata Victoria tak mau kalah. Perkataan itu sungguh meneduhkan
hati Érique. Dia merasa bangkit kembali, Victoria memberinya tanggung
jawab besar. Wanita itu percaya padanya. Dia tidak akan menyia-nyiakan
kepercayaan wanitanya.
John meneguk minuman beralkohol nan pahit
tequila dua gelas berturut-turut. Dia meminumnya layaknya air mineral.
Victoria sudah terhasut dengan Érique. Dan inilah tantangan terbesarnya
untuk memisahkan hubungan mereka. Victoria khawatir melihat tindakan
ayahnya. "Pelan-pelan, Dad!" Seru Victoria. Meski tidak akrab, Victoria
memiliki hubungan darah dengan lelaki itu. Dia tidak akan lahir tanpa
lelaki itu.
"Ini hanya tequila." Balas John datar. Dia terlanjur
kesal dan akhirnya mengeluarkan kalimat tidak masuk akal itu. Semua
orang tahu bahwa tequila adalah minuman keras asal Italia yang sangat
pahit. John berbicara seolah ia peminum anggur yang handal. Victoria
kembali terdiam. Dia melihat raut wajah penuh amarah pada Ayahnya. Dia
takut ayahnya semakin emosi jika membalas perkatannya.
"Aku
berjanji akan melindungi, Victoria. Tak akan kubiarkan orang lain
berbuat buruk padanya." Ucap Érique meyakinkan John. Kepercayaan dari
Victoria membuatnya semakin semangat menjalani hidupnya. Dia berjanji
akan melindungi Victoria dan tak akan mengecewakan wanita itu. John
tersenyum miring saat mendengar ucapan Érique.
"Ku harap kau bisa
memegang janjimu. Lelaki sepertimu hanya bisa berjanji. Kita lihat saja
apa yang akan terjadi. Sedikit saja Victoria lecet, aku akan
membunuhmu." Tegas John dengan pandangan melotot. Itu sungguh menakutkan
bagi siapapun yang melihatnya. Érique sempat tegang karena ancaman ayah
Victoria. John seolah tidak mempercayainya. Érique memang tidak yakin
akan keselamatan Victoria. Tapi, Sebagai pendamping ia akan melakukan
perlindungan semaksimal mungkin. Melindungi masyarakat dan juga
Victoria.
Ruangan terasa panas, suhu udara yang tadinya sangat
dingin berubah seolah sekarang musim panas. Menurut Érique, Berada di
depan ayah Victoria lebih menegangkan daripada berada di tengah ribuan
pembunuh berantai. John sangat tegas dan terkesan merendahkannya.
Meyakinkan orang yang merendahkan itu sangat sulit, Bagaimanapun usahamu
membuktikannya selalu ada celah untuk menjatuhkannmu. "Tak akan
kubiarkan Victoria lecet." Balas Érique. Hanya kalimat itu yang mampu
keluar dari bibirnya. Tak ada lagi yang bisa ia ucapkan. John terdiam,
Berbicarapun percuma, mereka sudah saling jatuh cinta.
"Maafkan
kedatangan kami Dad. Mungkin kami membuat Dad marah. Lebih baik kita
lupakan pembicaraan ini. Dan beralih pada topik tentang alasan Dad
memanggilku datang kesini." Ucap Victoria berusaha sesopan mungkin pada
ayahnya. John mendongak menatap putrinya.
"Lupakan saja, Kalian
membuat mood daddy jadi buruk." Balas John. Rencananya ia ingin
menjodohkan Putrinya dengan pria kaya, anak dari rekan bisnisnya. Namun,
semuanya berantakan saat melihat Érique. Suasana semakin lama semakin
canggung. Hal itu membuat Victoria pamit pulang pada ayahnya. John
membiarkan mereka pergi. Percuma menghalangi orang yang terlanjur
dimabuk asmara, melihat mereka berdua hanya membuat John merasa
jengkel.. Dia harus memikirkan cara yang lain agar mereka berdua
berpisah.
***
Suasana mencekam masih terasa saat Victoria
dan Érique meninggalkan kediaman John. Mereka berdua bagaikan pasangan
yang baru pertama kali bertemu. Victoria melirik kakaknya yang sedang
fokus mengendarai mobil. "Kita mau kemana kak?" Tanyanya. Mobil mereka
tidak melaju ke arah jalan tol menuju Boston dan hotel tempat mereka
menginap pun sudah lewat. Victoria tidak tahu kemana Érique akan
membawanya.
"Kita akan ke tempat yang menyenangkan." Jawab
Érique. Sore ini Érique ingin menyegarkan pikirannya dari tekanan ayah
Victoria. Dia juga ingin bersenang-senang bersama Victoria. Karena
bersama wanita itu, semua beban pikirannya berkurang. Wanita itu
bagaikan cahaya sinar rembulan, menerangi malamnya yang gelap. Victoria
kembali memandangi kakaknya. Dia tidak mengerti dengan jawaban Érique.
"Dimana
itu?" Tanya Victoria, Érique hanya tersenyum manis. Cantiknya Victoria
membuatnya merasa nyaman dan teduh. Semua bebannya melayang pergi entah
kemana. Wanita itu memberikan sesuatu magic padanya. Érique mengelus
perut wanitanya yang mulai buncit.
"Percayalah padaku, pasti kau
akan senang jika kita sampai." Ucap Érique lagi. Victoria hanya bisa
pasrah. Pria itu tidak pernah menjerumuskannya dalam hal negatif. Érique
selalu bisa mengerti dirinya dan tidak akan membiarkannya berada dalam
bahaya.
Perjalanan yang mereka tempuh menghabiskan waktu kurang
lebih dua jam hingga mereka bisa sampai di Pantai SouthHampton. Pantai
yang dulu menjadi saksi pertemuan Orlando dan Victoria. Tempat dimana
Ayah serta ibunya menghabiskan waktu bersama. Untuk merayakan hari ulang
tahun Érique. Mata Hazel milik Victoria berbinar. "Kau masih ingat
tempat ini?" Tanya Érique dengan suara basnya. Victoria mengangguk. Dia
merasa terharu.
"Aku tidak akan lupa hari itu. Hari dimana kak
Érique memperhatikanku dan juga hari dimana aku mulai jatuh cinta pada
kakak." Jawab Victoria apa adanya. Perlahan tangan Érique memegangi
wajah Victoria. Matanya terpejam dan merapatkan bibirnya pada bibir
wanitanya. Hasrat cintanya bagaikan api yang membara. Sentuhan yang
awalnya lembut semakin lama berubah menjadi lumatan-lumatan penuh
gairah. Keduanya larut dalam gelombang cinta yang sedang mereka arungi.
Sore itu pantai sepi, hanya ada pasangan sama seperti mereka yang
jumlahnya hanya bisa di hitung jari.
Nafas keduanya tak beraturan
karena aktifitas panasnya. Mereka menyudahi kegiatannya itu setelah
beberapa menit. Mereka melempar senyum satu sama lain, menertawai
aktifitas bergairahnya. Untungnya mereka masih bisa menahan diri dan
tidak melakukan kegiatan suami-istri di tempat itu.
"Aku ingin ke
panta itu kak!" Seru Victoria dengan nadanya yang manja. Di usianya
yang sudah dua puluh dua tidak merubah dirinya sama sekali. Érique
mengangguk setuju pada wanitanya. Membuat Victoria tersenyum senang.
Mungkin kata glad, happy, dan rejoice adalah tiga kata yang mewakili
perasaannya.
"Oke, kita arungi pantai itu." Balas Érique. Kedua
pasangan itu melepas pakaian hingga hanya pakaian dalam yang mereka
gunakan. Hari ini mereka sangat bahagia melebihi bahagianya Princess
Sleeping beauty saat bertemu pangerannya.
Kedua insan itu
bermain-main di sekitar bibir pantai. Saling menghujani air satu sama
lain, dan tertawa di selah aktifitasnya. Érique mengangkat tubuh
Victoria dan memutar tubuhnya dengan gerakan cepat bagai angin puting
beliung. Hembusan angin begitu menyekukkan. Victoria tertawa lepas
karena aktifitas kekasihnya.
Setelah lelah, Érique duduk diam
membiarkan gulungan ombak menabraknya. Dia mencoba mengatur nafasnya,
aktifitasnya cukup melelahkan. Victoria menggodanya dengan mengibaskan
air ke arahnya. Membuat Érique tersenyum dan mencoba mengejarnya dalam.
"Hei jangan lari kau! Kalau aku menangkapmu takkan ku biarkan kau
bernapas. Aku akan menciummu sampai puas." Teriaknya menggoda Victoria.
Wanita itu malah terkikih dengan ancaman Érique. Dia terus berlari
menghindari prianya hingga ia mulai lelah dan berjalan lebih pelan.
Hampir
saja Érique menangkap tubuhnya. Victoria menghindar namun dirinya
terjatuh diatas air. Érique menarik tangannya agar wanitanya tidak
jatuh. Tapi tenaganya terkalahkan. Keduanya terjatuh di atas kumpulan
air dengan Victoria berada di bawah. Mereka berdua beradu mata. Mata
hitam dan mata Hazel itu saling mengamati satu sama lainnya.
Gulungan-gulungan
ombak menerpah keduanya. Mereka tetap saling memandang dalam diam.
Sentuhan tubuh mereka menimbulkan gairah yang tak tertahankan. Victoria
memegangi wajah Érique. "Aku suka hari ini." Ucapnya singkat. Dia
mengatakan apa yang ia rasakan. Saat itu juga ia melupakan perkataan
Elizabeth dan saat kakaknya bertemu Bella. Semuanya sirna begitu saja.
Keraguan, kebohongan, ketidaksetiaan semuanya berubah. Pandangannya
tentang Érique kembali sama seperti dulu. Pria itu tidak pernah berubah
dan selalu setia padanya.
Aku tidak ingin waktu berjalan, Aku
ingin tetap seperti ini, Aku ingin waktu diam konstan, Aku menyukai
saat-saat seperti ini. Aku mau seperti ini. Selalu menatap wajahnya di
setiap detik ke bersamaan kami. Batin Victoria.
Langit mulai
menggelap, bukan karena akan hujan melainkan karena memang sudah
waktunya matahari untuk berotasi. Cahaya biru langit meredup berlawanan
dengan awan yang masih terlihat segar, berwarna putih bercampur warna
orange. "Aku juga menyukai hari ini." Balas Érique. Lelaki itu bangkit
dan menarik tangan Victoria agar wanita itu ikut bangkit. Melihat wajah
cantik Victoria membuatnya tidak tahan untuk mengecup bibirnya.
Aktifitas yang sama sebelum mereka ke pantai kembali terulang. Respon
tubuh mereka sangat cepat, itu adalah satu dari banyak pembuktian betapa
tulus cinta mereka. Cinta mereka tidaklah suci, mereka adalah pasangan
yang saling mengotori untuk membuktikan ketulusan cinta. Tidak semua
cinta harus suci, meski cinta yang suci lebih bermoral di mata tuhan dan
lebih tinggi nilainya.
Érique membawa Victoria menuju mobilnya.
Mereka ingin mengganti pakaiannya lalu mencari penginapan terdekat.
Untungnya sebelum berangkat ke rumah mewah Ayah kandung Victoria, mereka
terlebih dahulu singgah di pusat perbelanjaan. Semuanya sudah di atur
oleh Érique. Dia bisa membaca situasi. Dulu saat SMA, ia pernah ke rumah
pria itu dan menyadari bahwa John adalah pria yang pemilih. Bahkan
pertemanannya dengan Orlando di urusi olehnya. Untungnya, dia anak
Givanno dan Taylor. Model tersohor kala itu. Alhasil dia di ijinkan
berteman dengan Orlando.
"Setelah ini kita ke hotel. Aku tidak
sabar untuk melakukan ritual mingguan kita." Ucap Érique membuat
Victoria tersenyum. Dia mengerti maksud kalimat ambigu kekasihnya itu.
Mereka berbeda dengan pasangan dewsa lainnya yang melakukan kegiatan
intim setiap harinya. Mereka justru melakukannya sekali seminggu atau
sekali dalam dua minggu. Hal itu dilakukan agar tak ada rasa jenuh
diantara keduanya. Terbukti sekarang mereka baik-baik saja selama 4
tahun tanpa ada pihak ketiga dan semoga saja tidak ada.
Baca lengkap cerita Mon Amour Victoria Bab 6-30 di aplikasi Innovel. Download aplikasinya sekarang di Play Store: Download Sekarang
Link Mon Amour VictoriaKlik aku
- Get link
- X
- Other Apps
Popular Posts
Abbey Choi, Model Hongkong dimutilasi oleh mantan suaminya!
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment