Skip to main content

Featured

Jin BTS akhirnya selesaikan wajib militernya sebagai warga negara Korea Selatan

Seoul , Kabar gembira bagi ARMY di seluruh dunia! Kim Seokjin atau lebih akrab disapa Jin, anggota boygroup BTS berhasil menyelesaikan wajib militernya.  Mengutip the KoreaTimes, tampak Jin mendapatkan buket bunga saat meninggalkan acara perayaan 5 tahun Divisi Infanteri Angkatan Darat di Yeoncheon, (12/06).  Dalam acara itu, Jin sempat reuni dengan 5 member BTS lainnya yang masih menjalankan wajib militer yakni; V, Jungkook, Jimin, J-Hope, dan RM.  Disebutkan Suga, satu-satunya member yang absen pada acara tersebut.  Kepada media, Jin menyapa Army dengan berkata, " Hai, ARMY !" sambil tersenyum.  Perayaan privat Jin ini menandakan kemungkinan Jin akan segera kembali ke industri hiburan lagi seperti biasa.  Tentu saja itu berita baik bagi penggemar BTS. Hal itu bisa dilihat dari ucapan selamat yang tidak berhenti diucapkan ARMY kepada Jin.  Bagaimana? Apa kamu termasuk yang ARMY itu? 

Luki dan Ayah Dokter Bab 1

 
***

Mimpi itu seperti harapan. Keinginan berlebihan yang tak menerima kata gagal. Terkadang mimpi memotivasi namun juga menjatuhkan. Mimpi yang kauharapkan hari ini bisa jadi menjadi bumerang bagimu di masa depan.

Pagi itu Makassar begitu cerah, Luki tak mau sekolah sebab ingin tahu perihal kelulusan Ayahnya. Anak itu sampai tak sarapan pagi. Luki menarik-narik pakaian Ayahnya hanya untuk sekedar melihat koran yang disembunyikan Ayahnya.

"Ayah lulus 'kan?"

Luki begitu semangat menanyakannya. Tak mendapat respon dari sang Ayah, Anak itu merebut koran yang sedang dipegang Ayahnya. Ia melihat-lihat daftar nama peserta yang lulus tes SBMPTN atau Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri.

"Ayah gagal lagi. Tak usah dicari, tidak akan ketemu nama Ayah."

Malas, Niko mengatakannya jujur. Ia mengambil rokok di kantongnya, menyalakannya lalu mengisapnya kuat-kuat. Memang tak ada niat untuk lulus di seleksi itu. Buat apa? Jadi Maba lagi? Botak lagi? Nikolas masih cukup waras untuk tidak larut dalam mimpi konyol Anaknya. Luki tak menggubris perkataan Ayahnya. Ia tetap berusaha menemukan nama Ayahnya.

"Ayah lulus!"

"Lulus?"

Mendadak, Niko menyernyitkan alis. Ia tak percaya bisa lulus di PTN untuk kedua kalinya. Apalagi sekarang usianya sudah 25 tahun. Terlalu dewasa baginya untuk kembali menjadi Mahasiswa baru.

"Tapi jurusan Perikanan, Yah."

"Hahaha."

Luki lesu. Sangat jelas kalau Anak itu kecewa. Ia menjauh. Niko menghentikan tawanya. Ia melangkah mendekati Anaknya yang sudah duduk di pojok kos. Luki menghadap dinding dan membelakangi Ayahnya. Seni-nya menjadi Ayah itu ialah menghibur Anaknya yang merajuk.

"Luki marah karena Ayah tak lulus?"

Tidak menjawab pertanyaan Ayahnya, Luki menggoyangkan tubuhnya. Niko menyesap rokoknya, menghangatkan paru-parunya lalu kembali membujuk Anaknya.

"Anak lelaki tak boleh cengeng. Tahun depan 'kan Ayah masih bisa ikut tes. Atau Luki saja yang jadi Dokter. Luki 'kan lebih pintar dari Ayah." Niko menghibur putranya. Dalam hati merutuk karena masih saja memberikan harapan pada Anaknya.

"Ayah 'kan lebih hebat dari Dokter. Kerja di Bank, pandai bahasa Prancis, supir angkot pula.. hahaha."

"Tapi Luki mau punya Ayah Dokter!"

Pernyataan itu meruntuhkan harga diri Niko sebagai sosok Ayah. Apa sebegitu kerennya punya Ayah Dokter? Apa Ayah semacam itu mimpi semua Anak-anak?, Niko ingin marah tapi tak akan marah pada Anaknya. Sebab hadirnya Luki telah mewarnai hidupnya. Rumah kos tak sepi, dan selalu ada saja yang buat masalah. Luki semacam keberuntungannya sekaligus kesialannya. Ralat, tak ada kesialan atas hadirnya seorang Anak.

Luki namanya, berasal dari bahasa Inggris Lucky yang artinya beruntung. Tak hanya itu, Niko memberikan nama Anaknya dengan panggilan Luki sebab di dalam Al-qur'an ada surah Lukman. Seorang yang begitu diapreasiasi karena kebaikannya. Seperti itulah filosofi nama Luki bagi Nikolas.

"Ayah 'kan sudah jadi Dokter untuk Luki. Ayah yang merawat Luki kalau sakit. Memeluk Luki kalau kedinginan, memarahi Luki kalau bandel. Sudah, jangan merajuk lagi. Kalau Luki seperti ini terus, Ayah bisa marah." Niko menyemburkan asap rokok ke sekeliling ruangan.

"Teman Luki, Ayahnya Dokter. Setiap hari dijemput mobil. Luki juga mau seperti itu."

"Mensyukuri itu lebih baik, Nak. Dokter atau apapun pekerjaan Orang tua. Itu harus disyukuri. Sudah, Luki tak usah manja begitu." Niko menegaskan kalimatnya. Lelaki itu berharap Anaknya tak merasa pilu lagi. "Besok sabtu, Kita jalan keliling kota ya? Ayah 'kan juga punya mobil angkot." Niko sumringah, begitu bangga akan profesinya yang banyak. Senin sampai kamis bekerja di Bank Btn dan sabtu-minggu menjadi sopir angkot. Niko menikmati bekerja, mencoba melupakan wanita yang pernah mengenalkan cinta padanya.

Mata Luki memerah, jelas sekali ia akan menangis. Anak itu menunduk tak mau Ayahnya menyaksikan kesedihannya. Mendadak, Niko mematikan rokoknya. Ia merangkul Anaknya pelan.

"Anak Ayah harus kuat, jangan lemah. Dokter atau pun bukan, Ayah 'kan selalu ada untuk Luki. Ayah bisa menjadi apapun untuk Luki." ucap Niko sambil menepuk-nepuk pundak Anaknya. Luki mendongak--mendelik pada Ayahnya. Luki kembali mengucapkan kalimat yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya.

"Ayah bilang kalau Ibu seorang Dokter. Luki kangen Ibu. Luki mau Ayah jadi Dokter biar bisa ketemu Ibu. Ayah harus janji tahun depan harus lulus jadi Dokter. Harus!" Niko mendesah pelan. Jika tidak diiyakan, Luki akan nekat mogok makan. Terpaksa Niko mangguk-mangguk. Biarkan saja, toh mengangguk hal yang gampang.

Luki menyeka cairan putih yang jatuh di pipinya. Ia pun merengek mau dibelikan es krim cornetto. Nikolas cengar-cengir, Luki selalu seperti itu. Kalau sedang mengambek, ujung-ujungnya berakhir ke es krim. Amarah Anak itu akan meleleh hanya dengan memakan es kesukaan Taylor Swift dan Selena Gomez itu.

Siang itu juga, Niko membonceng Anaknya menuju Alfamart di jalan poros Perintis Kemerdekaan. Tepat di depan kampus Unhas, yang letaknya begitu dekat dengan Pertamina. Kenapa di Alfamart? Karena di Alfamart segalanya murah, mudah, dan simpel. Bahkan ada diskon sana sini. Lumayan untuk menghemat.

Rasa vanilla untuk Luki dan rasa coklat untuk Niko. Dan hebatnya adalah Niko mendapat diskon untuk mendapatkan gula putih dan minyak goreng. Alih-alih beli es krim malah berbelanja kebutuhan rumah. Ini semua gara-gara pegawai Alfamart yang menawarkan ini itu. Berawal dari isi pulsa, berakhir jadi gula putih. Tapi tak apa, toh hal itu menguntungkan.

Asyik mengulum es krim, Ayah dan Anak itu duduk di depan Alfamart. Niko geleng kepala setiap kali melihat Luki berlepotan es krim di atas mulutnya. Sudah 4 tahun masih saja belum pandai menikmati es krim. Baru cornetto, bagaimana kalau es krim jalanan? Es potong mungkin? Tak bisa dibayangkan mulut Luki.

"Luki tahu tidak? Ayah dulu pacarnya Selena Gomez, loh."

"Selena Gomez siapa, Yah?"

"Itu, yang ada di gambar!"

"Mukanya jelek, Yah! Tidak cantik. Lebih cantik Bu Dokter."

"--"

Niatnya mengibuli Anaknya malah jadi sasaran ejekan. Niko tertawa lepas, Luki jadi bingung karena tingkah Ayahnya. Sungguh Ayah muda yang belum dewasa. Bagaimana bisa ia menjadi sosok Ayah kalau ia sendiri masih berkhayal tingkat tinggi ala Mimi Peri. Niko sampai memegangi perutnya karena kejenakaan putranya. Air mata sampai keluar di sudut matanya. Luki mendadak ikut ketawa melihat Ayahnya terbahak-bahak.

Lama Niko tersadar dari kekonyolannya. Seseorang menyapanya. Segera Niko berubah wujud menjadi Ayah sungguhan, serius, dingin, dan tampak cerdas. Niko bersalaman dengan orang itu lalu menyapa sekadarnya. Muka lelaki itu cukup tua, berjenggot, gempal, dan berambut putih. Niko mengenalnya karena setiap hari bertemu di sekolah Anaknya. Lelaki itu adalah Ayah dari teman Luki.

Ketika Niko berbincang dengan lelaki itu, Luki mengamati mereka. Niko menyadari akan hal itu. Ia yakin ada sesuatu yang mengganjal dipikiran Luki. Tak lama, Niko menepis segala pemikirannya itu. Ia mengakhiri obrolan lalu bergegas pulang. Tak penting pula pandangan Anak kecil.

***

Jalan Sahabat adalah salah satu dari tiga jalan populer di sekitaran kampus Unhas. Lorong jalan ini tepat di depan Fakultas Kedokteran Gigi. Jalan sahabat letaknya di tak jauh dari Rusunawa atau Rumah susun Mahasiswa. Biasanya Rusunawa dihuni oleh Mahasiswa asing yang belajar di Unhas seperti Mahasiswa dari Malaysia, Afrika, atau pun Korea. Rusunawa menyediakan fasilitas yang berbeda-beda tiap kamarnya. Ada yang ber-AC dan ada yang tidak. Intinya adalah semakin mahal yang kaubayar maka semakin mewah fasilitasnya.

Dibelakang Rusunawa inilah terdapat jalan yang dikenal dengan jalan sahabat. Asal-usul namanya mungkin berasal dari kata sahabat itu sendiri. Maksudnya, rumah-rumah kos yang berjejer di jalan itu harganya bersahabat dan beragam. Tergantung fasilitasnya. Sama saja dengan Rusunawa sebenarnya.

Niko tinggal di Jln Sahabat 1 no.2 nama pondoknya ialah pondok Alif. Sewa kosnya 5 juta per tahun. Ya, lumayan tinggal di sana. Meski kadang-kadang Ibu kosnya rewel ini itu. Bayar uang sampah tiap bulan, uang tambahan untuk TV kabel dan lain-lainnya. Niko tak mempermasalahkan hal itu sebab ia bukan mahasiswa tak beruang. Ia sudah bekerja dan tergolong berkecukupan.

Sampai di kos, Niko melepas pakaiannya karena gerah. Keringat demi keringat mengalir, menjadikan tubuhnya basah. Luki melakukan hal yang sama. Kentara kalau Anak itu suka meniru kegiatan Ayahnya. Niko meminta Anaknya menyalakan kipas angin. Luki melakukannya sambil mencomel, merasa tak suka disuruh-suruh.

"Kalau disuruh jangan seperti itu, Luki. Itu namanya dosa sama Ayah."

Niko menceramahi Luki sembari melakukan gerakan push-up di depan ranjang. Ia sangat suka berolahraga. Belakangan ini, ia disibukkan oleh kerjaan. Pekerjaannya tak terlalu melelahkan namun entah kenapa ototnya bisa pegal-pegal. Biasanya Luki yang memijitnya tetapi kalau situasinya seperti sekarang maka Niko tak akan mau menyuruh Luki. Malasnya Luki kadang membuatnya jengkel, karena itulah Niko memilih untuk tak memerintah Anaknya. Kalau dimarahi, nanti Luki kabur dari kos.

"Ayah,"

Niko berdeham. Ia masih fokus menghitung gerakan push-up yang ia lakukan. Tubuhnya yang sudah berkeringat semakin membuatnya berpeluh. Lantai jadi basah, dan bau badannya pun menyebar di udara.

"Ayah kenapa tidak punya janggut? Kenapa tidak berkumis?"

Niko menghentikan kegiatan olahraganya. Ia melangkah menuju dispenser dan mengambil air dingin sana. Luki mengamatinya, begitu penasaran mendengar jawaban Ayahnya. Sejak dulu ia mengamati wajah Ayah teman-temannya. Rata-ratanya berjanggut dan tua. Berbeda sekali dengan Ayahnya yang masih tampak muda. Bahkan seringkali orang-orang mengira mereka Adik-Kakak.

Niko memegang dagunya. Benar sekali kata Anaknya. Kenapa tak ada janggut di sana. Niko bercermin dan mendapati wajahnya begitu mulus ala boyband Korea. Hah? Boyband Korea? Niko mengedik sambil geleng kepala. Ia merasa jijik memiliki tampang berciri Korea.

"Kalau begitu besok Ayah beli penumbuh janggut saja."

Niko menjawabnya asal. Lelaki itu kemudian melanjutkan kegiatan olah ototnya. Kali ini dengan gerakan sit-up, ia tak peduli dengan Luki yang tampak tak puas akan jawaban yang ia berikan.

Merasa tak dipedulikan Ayahnya, Luki berjalan ke arah Ayahnya. Luki mengambil posisi duduk di atas perut Ayahnya. Menjadikan Ayahnya sebagai mainan kuda-kudanya.

"Luki, jangan ganggu Ayah! Sana nonton TV!"

"Luki mau main, Yah. Kalau diajak mengobrol, Ayah malah acuh."

"Ya sudah, kalau mau main. Sana main sama robot-robotanmu. Ayah mau olahraga biar sehat."

"Kalau begitu, Luki juga mau olahraga kayak Ayah."

Menghela napas, Niko bangkit dari pembaringannya. Ia menginterupsi Anaknya untuk mengambil posisi sit-up. Luki pun melakukannya. Niko meluruskan kaki Anaknya, menahan kaki itu lalu memerintahkan Luki memulai gerakan sit-up.

"Susah, Yah! Ayah kenapa kakiku ditahan? Ayah curang!"

"Memang aturannya seperti ini, Luki Sayang. Kalau tidak ditahan bukan olahraga namanya. Itu namanya main-main."

"Ayah, ini susah! Luki tak mau olahraga!"

Niko melepaskan pegangannya di kaki Anaknya. Luki terengah-engah, merasa tersiksa dengan olahraga yang baru kali ini ia coba. Sulit sekali melakukan sit-up. Luki menyalahkan Ayahnya yang tadi menahan tubuhnya.

"Makanya jangan manja, kalau suka merajuk begini 'kan jadinya. Otot-ototmu jadi kaku dan tak mau digerakkan." Niko berceloteh sembari senyum-senyum sendiri melihat Anaknya yang menyeringai. Niko menyalakan TV. Di layar kaca itu sedang memutar FTV sore yang kebetulan bertara di Rumah sakit. Niko kalang-kabut, ia langsung memindahkan channel itu.

"Ayah tahun depan harus jadi Dokter seperti orang yang ada di TV! Ayah 'kan sudah janji." Terlambat sudah. Luki kembali mengungkit masalah Dokter-dokter itu. Niko tak percaya ingatan Luki tak bisa terhapuskan mengenai Dokter dan selalu tentang Ayah Dokter. Tidak cukupkah Niko yang menjadi pegawai tetap Bank? Haruskah ia menjadi Dokter.

"Tidak janji, tapi Ayah akan usaha. Luki berdoa saja ya. Ayah pasti jadi Dokter suatu saat nanti." Niko menenangkan lewat kalimat datarnya. Dampaknya begitu terasa. Setelah berucap seperti itu, Luki langsung memijat punggungnya. Mencari perhatian Ayahnya dengan bertanya mengenai apa yang dibutuhkan Niko. Kesempatan itu dimanfaatkan Niko. Luki paling tidak suka cuci piring. Oleh Karena Itu, Niko meminta Anaknya cuci piring.

Luki menyeringai. "Ya, Ayah! Kenapa harus cuci piring? Luki tidak suka ya! Bagaimana kalau Luki jadi bencong? Luki tidak suka, Yah. Apa kata teman-teman Luki nanti." Luki mendengus. Sebaliknya Niko terkekeh--merasa puas mengerjai Anaknya.

"Cuci piring tidak akan membuatmu tumbuh jadi bencong, Nak. Cuci piring malah akan membuatmu tumbuh jadi Anak mandiri. Ayah tutup pintu kos kok biar Luki tak dilihat teman. Ayo, tidak apa kok. Lagipula piring itu 'kan piringnya Luki semua. Sekadar info, cewek suka cowok yang rajin cuci piring." jelas Niko. Luki melangkah malas menuju kamar mandi. "Luki cuci piring, tapi Ayah janji harus jadi Dokter!" Niko mengangguk asal membikin Luki semangat akan harapan Ayahnya menjadi Dokter. Harapan ia bisa bertemu Ibunya.

Follow Instagram Sastrabisu dan sastra_bisu


Comments

Popular Posts