Skip to main content

Featured

Jin BTS akhirnya selesaikan wajib militernya sebagai warga negara Korea Selatan

Seoul , Kabar gembira bagi ARMY di seluruh dunia! Kim Seokjin atau lebih akrab disapa Jin, anggota boygroup BTS berhasil menyelesaikan wajib militernya.  Mengutip the KoreaTimes, tampak Jin mendapatkan buket bunga saat meninggalkan acara perayaan 5 tahun Divisi Infanteri Angkatan Darat di Yeoncheon, (12/06).  Dalam acara itu, Jin sempat reuni dengan 5 member BTS lainnya yang masih menjalankan wajib militer yakni; V, Jungkook, Jimin, J-Hope, dan RM.  Disebutkan Suga, satu-satunya member yang absen pada acara tersebut.  Kepada media, Jin menyapa Army dengan berkata, " Hai, ARMY !" sambil tersenyum.  Perayaan privat Jin ini menandakan kemungkinan Jin akan segera kembali ke industri hiburan lagi seperti biasa.  Tentu saja itu berita baik bagi penggemar BTS. Hal itu bisa dilihat dari ucapan selamat yang tidak berhenti diucapkan ARMY kepada Jin.  Bagaimana? Apa kamu termasuk yang ARMY itu? 

Luki dan Ayah Dokter Bab 3


***

Marah ialah emosi yang selalu menjadi alat penghancur hubungan seseorang. Marah membuat siapapun bertindak tanpa berpikir, mengambil keputusan tanpa memikirkan dampak buruknya.

Tepat di hari minggu pukul sepuluh pagi, Niko memarahi Luki. Ia murka ketika Luki menemukan foto istrinya. Tanpa memikirkan perasaan Luki, Niko merebut foto itu. Ia membakarnya tepat di depan mata Luki.

Lagi-lagi Luki menangis membuat Niko pusing. Luki menendang-nendang Ayahnya karena telah membakar foto Ibunya.

"Ayah jahat, Ayah tidak sayang Luki. Ayah membakar foto Ibu."

Sesenggukan Luki mengatakan kesedihannya. Bukannya menenangkan, Niko justru memukul pelan kaki Anaknya. Memang tidak sakit tapi bagi Luki, hal itu sangat mengejutkannya. Luki tak percaya Ayahnya memukulnya.

"Jangan sebut nama Ibumu lagi, Luki! Ayah bisa jadi Dokter asal kau tidak lagi mengingat Ibumu. Apa belum cukup Ayah ada di sini?"

"-"

Luki menggigit bibirnya. Ia mendelik marah pada Ayahnya. Air mata jatuh bebas membasahi baju kaos bergambar Boy yang ia kenakan. Boy merupakan karakter paling disukai Anak-anak saat ini. Dan merupakan salah satu sinetron favorit di Indonesia.

"Menangis terus. Selalu menangis dan menangis. Ini semua karena Ibumu yang egois itu. Kemarin Luki menangis gara-gara Ibu dan sekarang pun sama. Lupakan dia, Luki! Jangan ingat dia lagi."

"Tidak mau!"

Luki berteriak. Ia marah pada Ayahnya. Hal itu membuat Niko memukul pelan bibirnya. Luki mengamuk, menangis keras sampai memukuli Ayahnya dengan tangan mungilnya. Tak puas, Anak itu memukul Ayahnya pakai mainan robotnya.

Niko menghentikan aksi Luki dengan cara memerangkap tangan Anaknya. Luki berusaha keras melepaskan cengkraman Ayahnya. Tindakannya itulah yang membuat tangannya sakit. Putus asa, akhirnya Luki menggigit tangan Ayahnya.

"Ahh.."

Niko memekik sakit. Luki mundur beberapa langkah menjauhi Ayahnya. Niko geram, baru kali ini Luki begitu berani padanya. Niko kehilangan akal sehat. Tak berpikir, ia berseru.

"Berani sama Ayah? Sekarang sudah berani sama Ayah! Sini kamu! Kamu sama saja dengan Ibumu! Sama-sama tidak tahu diuntung!"

Luki menggelengkan kepalanya, takut melihat kemarahan Ayahnya. Air matanya kembali merembes keluar. Dia melangkah menjauhi. Semakin Niko mendekatinya semakin pula Luki menjauhinya. Ketika Niko berhenti melangkah, Luki melakukan hal yang sama. Luki takut dipukuli sebab itulah ia takut berdekatan Ayahnya.

"Mau kemana kau selain rumah kos ini. Ibumu tak akan peduli padamu. Sampai menangis darah pun dia tak akan datang. Dia egois, Luki! Kembali ke sini selagi Ayah masih mau menerimamu. Ibumu tidak menyayangimu, Luki." Niko menjelaskan seiring matanya menyala-nyala. Luki tak terima penjelasan Ayahnya. Luki mengambil kerikil kecil lalu melempar Ayahnya.

"Ayah jahat! Ayah pembohong!"

"Kau!"

Luki berlari kencang setelah melihat Ayahnya semakin murkah. Ia terisak sambil berlari menjauh sejauh mungkin. Rasa takut menyelimuti Luki. Ia ingin kembali ke kos-an Ayahnya tapi takut dipukuli. Luki berlari menyusuri jalan sahabat yang sempit.

Luki mulai sesenggukan karena merasa dirinya hanya sendirian. Dia ketakutan. Jika Ayahnya tak mau menerimanya maka dia harus tinggal di mana lagi. Luki berhenti berlari dan terisak sendirian di depan rumah kos dengan cat berwarna kuning. Tangisannya semakin menjadi saat mendapati Ayahnya tak mengejarnya. Luki merasa Ayahnya tidak menyayanginya lagi.

Luki menangis keras. Ia menundukkan kepalanya. Menangis membuat dirinya kelaparan. Ia mulai merasakan perutnya berbunyi. Luki masih meneteskan air mata saat seseorang menyapanya. Luki mendongak dan melihat satu laki-laki berjas putih dan satu lagi perempuan berjas putih. Luki menebak mereka adalah seorang Dokter.

"Mau gula kapas?"

Dokter lelaki menyodorkan permen raksasa berwarna hijau padanya. Luki menghapus air matanya lalu mengambil gula kapas itu. Luki berhenti menangis, mengemut permen manis itu. Rasa hangat menjalar di seluruh tubuhnya. Kehangatan yang sama seperti saat ia bersama Ayahnya. Luki mengamati Dokter perempuan yang mengusap rambutnya. Perempuan itu begitu cantik. Luki seperti tak asing dengan wajah itu.

"Namanya siapa?"

"Luki."

Dokter wanita itu tersenyum. Ia tanpa henti mengusap rambut Luki. Wanita itu bahkan mencium pipi Luki. Membuat Luki berpikir mengenai Ibunya.

"Kenapa Luki menangis?"

"Ayah jahat, Ibu Dokter. Ayah membakar foto Ibu. Ayah melarang Luki ketemu Ibu. Ayah jahat, Ibu Dokter."

Luki mengadukan kekesalannya pada Ayahnya begitu lancar. Luki merasa begitu dekat dengan wanita itu. Penasaran, Luki membaca nama yang tertera di jas kedua Dokter itu. Yang perempuan namanya Dokter Ika dan yang laki-laki bernama Dokter Esa.

"Luki tak usah pikirkan Ayah Luki. Di sini 'kan ada Ibu Dokter dan Bapak Dokter. Ibu akan jadi Ibunya Luki. Luki mau 'kan?"

Spontan Luki mengangguk. Ia begitu bermimpi memiliki orang tua Dokter. Dia tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Dokter perempuan itu tersenyum. Ia pun mengenalkan dirinya meski Luki sudah mengenalnya lewat jas mereka.

"Luki benci Ayah, Ibu Dokter. Luki ingin tinggal dengan Ibu Dokter saja!"

Dokter Ika kaget. Ia terharu, air matanya hampir keluar. Wanita itu memandangi Dokter Esa. Ia tersenyum pada lelaki itu. Ia seperti sedang mendapat kado bahagia.

"Luki tak boleh benci Ayah Luki."

"Tapi Ayah tidak sayang Luki, Ibu Dokter."

Dokter Ika bergeming. Ia menangkup wajah Luki, menyaksikan betapa tampannya Anak itu. Setelah itu, Dokter Ika memeluk Luki begitu erat. Ia meneteskan air mata karena tak percaya bisa memeluk Anak itu.

"Luki benar ingin tinggal bersama Ibu Dokter?" Luki mengangguk.

"Kalau begitu, besok pagi-pagi Luki datang kesini lagi dan bawa barang-barang Luki. Ibu Dokter akan menjemput Luki di sini." Luki mengiyakan. Kehidupan baru yang ia impikan datang menghampirinya. Di satu sisi, Luki bahagia namun sisi lainnya ia memikirkan nasib Ayahnya tanpa kehadirannya. Lama Luki tercenung sampai dua Dokter itu mengajak Luki berbelanja.

***

Langit sudah memerah namun Luki tak kunjung kembali. Niko merasa dadanya sesak. Ia cemas, ia merasa bersalah pada Anaknya. Ia takut sesuatu buruk terjadi pada putranya. Niko tak bisa bernapas.

Ia mondar-mandir di depan kamarnya. Sudah banyak orang yang ia hubungi tapi tak satu pun yang mengetahui keberadaan Luki. Niko berpikir dan terus berpikir sampai ia memutuskan mencari Anaknya menggunakan motor.

Ketika motornya keluar dari pagar, saat itulah Luki muncul dengan mimik bahagia. Niko yang panik mengecek tubuh Anaknya, takut ada lecet atau berdarah. Niko memastikan betul Anaknya baik-baik saja.

"Luki dari mana saja? Luki sudah makan? Kenapa baru pulang sekarang? Apa Luki tidak tahu betapa khawatirnya Ayah?" Niko benar-benar khawatir. Napasnya naik turun. Baru kali ini ini ia begitu cemas luar biasa. Luki diam tak merespon pertanyaan Ayahnya.

Anak itu justru melangkah masuk ke dalam rumah kos. Niko bingung akan perubahan Luki. Dia bertanya tapi Luki tak mau bicara. Niko semakin curiga sesuatu terjadi pada Anaknya. Luki menjadi Anak yang rajin. Mencuci piring tanpa disuruh bahkan menyapu lantai kos.

Harusnya Niko bangga akan hal itu. Namun firasat lelaki itu tak enak. Seperti ada badai yang siap mengombang-ambing dirinya. Niko menghentikan kegiatan Anaknya.

"Katakan pada Ayah. Apa ada sesuatu yang membuat Luki berubah? Luki masih marah sama Ayah? Katakan, Nak. Apa yang harus Ayah lakukan agar Luki tak marah? Pagi tadi Ayah emosi, Ayah tidak bisa mengontrol emosi. Maafkan Ayah, Luki. Ayah tak akan marah lagi. Ayah janji!" Sungguh-sungguh Niko mengucapkannya. Luki malah tersenyum.

"Luki mau nasi goreng, Yah!"

Luki mengalihkan topik. Niko tercenung sebentar. Lalu ia pun megiyakannkeinginan Anaknya. Niko mengambil jasnya kemudian bergegas ke tetangga yang menjual nasi goreng. Dua bungkus nasi goreng seafood ia beli. Niko terus merenung, curiga ada sesuatu yang disembunyikan putranya.

Usai membeli nasi goreng, Niko mengambil piring lalu mengajak Luki makan bersama. Luki menurutinya. Duduk manis dan makan dengan lahap. Niko mengamati perubahan Anaknya. Penurut, serius, rajin, dan pendiam. Niko melihat sisi baru itu dari Luki. Tapi Niko tak mau Luki seperti itu. Ia rindu Luki yang apa adanya. Konyol, suka memerintah, dan banyak berceloteh. Luki seperti itu yang diinginkan Niko.

Niko sama sekali tak menyentuh makanannya. Pilu, ia hampir menangis. Niko mengangkat wajahnya menatap langit-langit kamar, membulatkan mata agar air matanya tak keluar.

"Ayah tidak makan?"

Luki bertanya--memandanginya dengan tatapan serius. Niko saat itu juga mencocol nasi gorengnya. Berusaha menyembunyikan rasa sedihnya. Ia menyesal memarahi Luki. Membuat Luki yang ia kenal berubah drastis tanpa alasan.

Hanya satu suapan yang bisa ia makan. Ia tak tertarik makan. Ia lebih tertarik melihat Luki. Kepergian Luki selama beberapa jam membuatnya takut setengah mati. Ia takut kehilangan Luki. Takut Luki meninggalkannya.
Mendadak, Niko menghalangi Anaknya saat Luki lagi-lagi ingin mencuci piring. Niko tak membiarkannya. Cukup, ia tak mau hal yang berlebihan lagi. Ia tak akan membiarkannya, tidak akan. Sudah cukup keadaan ini yang membingungkan.

"Kenapa Luki berubah? Apa ini bentuk kemarahan Luki pada Ayah? Kalau Luki marah, pukul saja Ayah. Jangan seperti ini, Nak. Pukul Ayah sesuka hati Luki." Niko mendekap tubuh Anaknya kuat-kuat. Melepas segala pemikiran buruk yang ia pendam.

"Luki mau jadi Anak yang baik, Yah. Anak yang penurut sama Ayah!"

"Tapi Ayah tidak suka Luki berubah. Ayah sayang Luki. Ayah takut Luki pergi. Ayah takut sendirian."

Tiba-tiba Luki melepas pelukan Niko. Anak itu melangkah naik di atas ranjang dan berbaring. Niko tidak mengerti maksudnya. Ketika Niko mendekatinya ia pun mendapati Luki menangis di bawah bantal. Niko semakin dibuat bingung.

"Maafkan Ayah, Nak!"

"Ayah jahat, Ayah memukul Luki! Ayah membakar foto Ibu! Ayah tidak sayang Luki!"

"Ayah memang salah. Ayah janji tak akan mengulanginya. Luki jangan menangis lagi ya."

Niko menepuk-nepuk punggung Anaknya. Sesenggukan Luki semakin lama semakin mereda. Niko berharap Luki menceritakan kemana ia menghabiskan waktu seharian. Nyatanya tidak. Luki memendam semuanya.

Niko tak menuntut jawabannya. Ia tahu bahwa Luki butuh waktu untuk berbagi cerita. Niko menyalakan televisi. Menonton berita yang ada di layar kaca. Dia masih cemas pada Luki tapi berusaha mengusir rasa curiganya.

Gelagat aneh Luki tak bisa disembunyikan. Paginya ketika pukul empat, Anak itu bangun lebih dulu membuat Niko lagi-lagi terkejut. Ia mencoba menerka-nerka apa yang terjadi namun tak ia temukan. Hari ini memang senin. Niko akan menjadikan upacara sebagai alasan Luki bangun pagi. Tapi itu bukanlah alasan tepat sebab sekolah Luki adalah sekolah terpencil. Swasta dan tersembunyi di tengah kota.

Luki bersekolah di jalan sempit yang bernama jalan sejati, lanjutan dari jalan sahabat. Di sana ada MI Auliyah yang bangunanya kumuh. Bahkan lokasinya sempit. Niko sengaja menyekolahkan Luki di tempat itu karena lokasinya yang dekat. Heran juga, ada Anak Dokter yang sekolah di sana. Niko masih penasaran dengan orang tua Anak Dokter itu. Sampai-sampai Luki juga ingin punya Ayah Dokter.

"Mau kemana sepagi ini?"

"Sekolah."

"Hah?"

"Luki mau menjadi orang pertama yang datang ke sekolah. Ayah bilang kalau orang yang berada di posisi pertama itu adalah sang pemenang. Jadi Luki harus bangun pagi. Begitu 'kan kata Ayah."

Niko mangguk-mangguk. Ia tersenyum mengacak rambut Luki dan menyuruh Anak itu mandi. Luki melakukannya. Ia begitu semangat pagi ini. Karena Luki mau berangkat pagi, terpaksa Niko juga harus berangkat pagi ke bank. Fantasi Luki membuat Niko geleng kepala.

Niko membuatkan susu dan menyajikan roti rasa coklat pisang untuk Anaknya. Pagi Ini tak ada hal buruk apapun yang terjadi. Semuanya baik-baik saja. Niko senang karena Luki tidak lagi banyak permintaan ini itu. Luki begitu menggemaskan karena menurut saja dengan apa yang dikata Niko.

Usai sarapan, Niko menonton televisi. Luki tak sabar menanti matahari bersinar. Niko menjadi gemas melihat Anaknya yang mendadak jadi Anak rajin dan tak merepotkannya sama sekali. Niko menyesap rokoknya lalu bertanya.

"Luki hari ini semangat sekali hari ini. Memangnya ada guru baru di sekolah?"

"Bukan guru tapi Ibu Dokt--"

Luki menggigit bibir bawahnya merasa dirinya salah bicara. Niko mendelik--menatap curiga putranya.

"Ibu Dokter? Memangnya Anaknya Ibu Dokter itu berangkat sekolah pagi-pagi ya?

Luki mengangguk. "Oh jadi Luki sekarang ada saingan belajarnya ya? Ya sudah, besok-besok Luki bangun pagi saja biar Anak Dokter itu kalah. Anak Ayah jauh lebih hebat dari Anaknya Ibu Dokter iya 'kan?" Niko tertawa pelan diikuti Luki. Niko menghentikan tawanya saat melihat tas Anaknya mengembang seperti ada pakaian di sana.

Niko ingin memeriksanya tapi Luki lebih dulu mengambilnya. "Luki bawa mainan ke sekolah, Yah. Luki mau main kalau jam istirahat." Niko mengangguk-angguk. "Oh, ya sudah sepulang sekolah kita ke toko mainan saja. Sudah lama sekali Ayah tidak membelikan Luki mainan. Luki-nya Ayah sudah besar." Luki cengingiran. Niko merasa pagi itu adalah pagi di mana ia dan putranya berdamai.

Instagram: Sastrabisu



Comments

Popular Posts