Skip to main content

Featured

Jin BTS akhirnya selesaikan wajib militernya sebagai warga negara Korea Selatan

Seoul , Kabar gembira bagi ARMY di seluruh dunia! Kim Seokjin atau lebih akrab disapa Jin, anggota boygroup BTS berhasil menyelesaikan wajib militernya.  Mengutip the KoreaTimes, tampak Jin mendapatkan buket bunga saat meninggalkan acara perayaan 5 tahun Divisi Infanteri Angkatan Darat di Yeoncheon, (12/06).  Dalam acara itu, Jin sempat reuni dengan 5 member BTS lainnya yang masih menjalankan wajib militer yakni; V, Jungkook, Jimin, J-Hope, dan RM.  Disebutkan Suga, satu-satunya member yang absen pada acara tersebut.  Kepada media, Jin menyapa Army dengan berkata, " Hai, ARMY !" sambil tersenyum.  Perayaan privat Jin ini menandakan kemungkinan Jin akan segera kembali ke industri hiburan lagi seperti biasa.  Tentu saja itu berita baik bagi penggemar BTS. Hal itu bisa dilihat dari ucapan selamat yang tidak berhenti diucapkan ARMY kepada Jin.  Bagaimana? Apa kamu termasuk yang ARMY itu? 

Rekomendasi Cerita Innovel "Mon Amour Victoria" Bab 1-5

Halo semuanya. Kalian lagi suntuk? enggak ada kerjaan di rumah? Pengin baca novel yang selalu bikin penasaran? Cuss download aplikasi Innovel di hape lalu baca cerita Mon Amour Victoria sekuel dari Papa Mengapa aku lahir?

 

Bab 1

Victoria menatap aneh dirinya di depan cermin, dia yang sekarang mulai membesar, tubuhnya perlahan menggemuk. Untungnya saat pemotretan dia masih terlihat langsing karena manipulasi teknologi komputer. Jadwalnya semakin padat dan Érique mulai mengkhawatirkan kondisinya. Lelaki itu mendekati kekasihnya dan memeluknya dari belakang. 

"Apa yang kau pikirkan, sayang?" tanya lelaki itu sambil menciumi leher wanitanya. Sesekali ia menghembuskan napasnya di sana. Victoria sangat menyukai hal itu.

"Aku takut kak! Aku takut menghadapi ini semua! Melahirkan bayi dan menjadi seorang ibu. Apa aku bisa melakukannya?" tanya Wanita itu ragu. Ia menunduk karena tak ingin melihat ekspresi kekasihnya. Érique mengamati wanita itu lewat cermin di depannya. Dia membalikkan tubuh Victoria.


"Kau pasti bisa, Sayang. Lihatlah Olive. Dia juga awalnya tak percaya dirinya. Bagaimana sekarang? Dia sukses kan?" tanya Érique pada wanita itu. Dia tak ingin Victoria banyak pikiran. Menurut apa yang diketahuinya, kehamilan pertama sangat rentan. Dia Harus ekstra menjaga wanita itu.

"Terima kasih ya kak. Kakak selalu ada buat aku dan calon anak kita." kata Victoria tulus dari dalam hatinya. Érique tersenyum pada wanitanya.

"Ini sudah kewajibanku, Sayang." balas Érique sambil menghadiahi kecupan di kening wanita itu. Mereka memilih tinggal di rumah pinggir danau di daerah Boston. Érique di tugaskan menjadi detektif di kota itu. Hingga Victoria harus bolak-balik ke New York. Érique sudah meminta Victoria berhenti bekerja. Tapi wanita itu sangat keras kepala dan tetap ingin menjadi model. Meskipun dulunya ia terpaksa menekuni pekerjaan itu.

"Kakak." panggil Victoria. Suaranya terdengar parau. Pelukan Érique membuatnya tenang. Dia merasakan damai bagai terbang di udara.

"Ehmm." jawab Érique. Lelaki itu memejamkan matanya menikmati harum rambut wanita di dalam dekapannya. Rambut pirang yang membuatnya selalu rindu. Rambut alamiah tanpa bantuan cat. Victoria menelusuri wajah lelaki itu.

"Aku ingin naik perahu di danau itu." pinta Victoria manja sambil menunjuk ke arah luar. Érique melempar senyum pada wanita itu. Apapun yang di minta Victoria pasti ia lakukan. Dia sudah berjanji akan menjadi ayah yang baik untuk anaknya dan suami teladan untuk kekasihnya.

"Baiklah." kata lelaki itu. Tanpa menunggu lama, Dia mengangkat tubuh Victoria keluar rumah. Tawa keduanya pecah, seolah dunia milik mereka berdua. Cita-cita mereka untuk bersatu sudah terwujud meski tak ada ikatan pernikahan.

Air danau sangat tenang, langit pagi sangat mendung. Burung-burung beterbangan di udara. Ikan-ikan di danau saling mengejar sama seperti pesta dansa di dongeng cinderella. Tanaman air sangat cantik dan enak dipandang mata. Dan disanalah Érique, mendudukkan Victoria diatas perahu yang terbuat dari lapisan gabus dan aluminium.

Di atas sana ia memeluk tubuh Victoria sambil menggerakkan perahu kecil itu. Semilir angin menyambar wajah keduanya, Dedaunan pohon di pinggir danau berjatuhan. Daun kering itu membentuk sebuah perkumpulan membuat danau semakin terlihat cantik. Victoria memejamkan matanya dalam dekapan sang pria. Matahari mendung seakan tersipu malu menyaksikan kedua insan itu.

"Kak Aku mencintaimu." Kalimat ajaib itu keluar dari bibir Victoria. Sudah beberapa kalimat itu keluar dari bibirnya. Mendengar ucapan itu membuat Érique merasa bahagia.

"Aku tahu dan aku tidak akan pernah lupa. Cintamu sangat besar untukku dan aku bisa merasakannya. Aku juga mencintaimu, sayang." balas Érique. Dengan hati-hati tangannya. Memegangi dayung dan mengayuhnya hingga menimbulkan bunyi. Bunyi-bunyi kecil dari air itu sangat meneduhkan dan menenangkan jiwa. Bunyi sederhana yang mampu menyihir laksana mantra ajaib dari dunia dongeng.

"Jika suatu hari aku jelek atau gemuk, Apa kakak masih mencintaiku?" Pelukan Victoria semakin dalam hingga ia mampu mencium aroma tubuh prianya. Pandangan mata Érique lurus ke depan.

"Cinta kakak tidak akan pernah berubah. Kakak tidak bisa janji tapi akan membuktikannya." Victoria merabah wajah lelaki itu lalu perlahan bibirnya bersentuhan dengan bibir lelaki itu. Érique membalas ciuman itu hingga membuatnya berhenti mendayuh. Perahu yang mereka tempati bergerak statis tanpa bantuan.

Alam menjadi saksi kisah cinta mereka yang panas. Angin bersorak bahagia saat melihat mereka bersama, Angin itu mengantar kepergian perahu yang tak tentu arahnya. Victoria melepas sentuhan bibirnya, tubuhnya melemah. Wanita itu memandang ke arah lain. Pandangan matanya mengabur karena cairan bening yang berkumpul di sudut matanya. "Aku tidak mau sendirian kak! Aku takut kakak pergi! Apa aku boleh egois seperti ini?" Victoria bertanya. Nada suaranya sangat rendah dan lembut. Wanita itu terlihat rapuh, ia takut kehilangan lelaki di hadapannya.

Érique memiringkan kepalanya, menatap Victoria dengan penuh cinta. "Kita akan selalu bersama, sayang! Ingatlah bahwa kau dan kakak diciptakan untuk bersama. Jangan seperti itu lagi ya. Kakak tidak akan pernah meninggalkanmu dan sedikitpun tidak akan berniat melakukan hal itu." Érique menyeka air mata yang mulai mengenang di mata Victoria. Dia tersenyum manis pada wanita itu. Kicauan burung tak mereka hiraukan, mereka lebih nyaman saling memandang satu sama lain. Érique lagi dan lagi memeluk Victoria.

Lelaki itu mulai bersenandung, hanya untuk menghibur Victoria. Suaranya sangat bass dan tidak terlalu bagus untuk ukuran penyanyi. Suara itu cocok dengan profesinya sebagai detektif. Nyanyian lelaki itu membuat Victoria tertawa bahagia. Bukan untuk meledek tapi karena bahagia Érique berada di sampingnya dan bersedia menyanyikan lagu untuknya.

Puas tertawa, Victoria tersenyum mengembang. Wanita itu merasakan kenyamanan luar biasa bersama Érique. Tangan lelaki itu menyentuh perut kekasihnya. "Aku akan melindungi kalian! Kalian tidak boleh takut lagi." ucap Érique merujuk pada janin yang di kandung Victoria.

"Aku takkan melupakan hari ini." kata Victoria beberapa saat. Dia terlalu bahagia dan tak ingin waktu berjalan. Dia menginginkan hal manis itu terus berulang dan tak ingin mengakhiri aktifitas mereka.

"Semua hariku begitu indah saat bersamamu! Tak ada satu haripun yang akan kulupakan. Semuanya tersimpan dalam memoriku. Tak akan dan tidak akan pernah kulupakan." tegas Érique. Kalimat itu membuat Victoria tersentuh.

Gerimis hujan mulai turun, membuat Érique khawatir dan membawa Victoria kembali masuk ke dalam rumah. Sangat disayangkan oleh wanita itu, kebersamaan mereka di danau harus berakhir karena hujan itu. Tapi dia juga mengerti, bagaimanapun juga ia sedang mengandung. Wajar jika Érique memperlakukannya bak porselen. Érique mengangkat tubuh Victoria masuk ke dalam rumah.

Érique basah kuyup sedangkan Victoria tidak. Berada dalam gendongan lelaki itu membuatnya terlindungi dari tetesan hujan. Érique membuka pakaian basahnya hingga tatto salamander tampak di punggungnya. Tatto berukuran kecil yang ia buat saat diterima menjadi detektif. "Sayang! Tunggu sebentar, kakak akan buatkan susu untukmu!" ujar lelaki itu. Victoria membalasnya dengan anggukan kepala.

Érique melangkah menuju dapur dan meninggalkan Victoria di ruang tamu sendirian. Victoria yang kedinginan membuka majalah di depannya. Rasanya ia butuh sesuatu untuk di baca. Halaman per halaman ia buka. Wanita itu sangat syok bercampur kaget saat melihat gambarnya penuh coretan bertuliskan 'I Will kill you!' Dengan tinta merah seperti darah. Victoria membuang majalah di tangannya. Ia ketakutan sampai refleks berteriak. Érique yang ada di dapur segera menemuinya.

"Ada apa sayang?" Tanya lelaki itu. Victoria menggeleng dan memeluk Érique dengan sangat erat. Karena terlalu takut, Dia tidak bisa berbuat apapun.

"Ada apa Victoria?" Pertanyaan ini terulang kembali. Érique benar-benar penasaran. Namun Victoria tak memberikan jawaban. Jangan bilang Érique jika ia menyerah dengan mudah. Dia seorang detektif handal. Matanya mencari bukti di sekelilingnya hingga ia bisa melihat majalah di lantai.

Dia membuka majalah itu dan mendapati coretan yang menakuti kekasihnya. Dia meremas Lembaran kertas itu, lalu bergerak memeluk Victoria entah sudah berapa kali adegan itu terus berulang. "Kau tidak perlu takut, sayang! Kakak tidak akan membiarkan orang itu membunuhmu dengan mudah! Dia tidak akan bisa!" Ucap Érique pasti, penuh keyakinan.



Bab 2:

Érique menatap ragu ke arah Victoria. Dia barusaja mendapat panggilan yang menyangkut pekerjaannya. Sebenarnya ia tidak rela jika harus meninggalkan wanitanya dalam keadaan takut. Semalaman Victoria terjaga dalam tidurnya. Namun, apalah daya dirinya. Dia hanyalah manusia biasa, dan punya pekerjaan yang harus diselesaikan.

"Kakak boleh pergi! Aku baik-baik saja disini!" Kata Victoria lembut. Rasa takut masih menyelimuti dirinya. Dia mencoba menyembunyikan semua itu. Érique harus bekerja dan tidak seharusnya ia menjadi beban bagi pria itu. Kedua orang itu saling memandang dalam diam.

"Kakak sudah sewa asisten rumah tangga. Sepuluh menit lagi akan datang. Maafkan kakak ya, Kakak harus pergi sekarang! Telpon kakak jika terjadi sesuatu." Pinta Érique pada kekasihnya. Victoria mengangguk sambil mengedipkan mata.

Érique memeluk wanita itu sekilas lalu mencium keningnya. "Jaga dirimu di rumah! Kakak akan telpon agensimu, seminggu ini kau harus cuti!" Tegas Érique. Victoria pasrah, Dari dulu apa yang diucapkan Érique selalu ia turuti. Karena dia tahu bahwa itu semua hanya untuk kebaikannya semata. Érique melangkah menjauh darinya sambil melambaikan tangan. Lelaki itu berangkat kerja dengan Roll Roycenya. Mobil mewah yang ia beli pada saat gaji kelimanya.

Victoria menatap kosong kepergian lelaki itu. Dia menutup pintu, tubuhnya kedinginan karena angin Boston mengenai tubuhnya. Wanita itu berjalan ke ruang tamu lalu menyalakan tv. Hanya aktifitas itu yang bisa ia lakukan. Sofa berwarna coklat yang empuk terasa nyaman baginya. Kamarnya terasa hampa tanpa kehadiran Érique. Jadi, dia memilih untuk tetap berada di ruang tamu.

Tok tok

Ketukan pintu itu mengagetkan Victoria. Belakangan karena aksi teror, ia mulai was-was dengan lingkungan sekitarnya. Langkahnya sangat lambat mendekati pintu. Dia berusaha menghilangkan rasa takut yang menggerogoti jiwanya. Jantungnya berdebar, dia merinding saat membayangkan hal buruk terjadi.

Victoria merasa lega saat membuka pintu. Bukan penjahat dan sama sekali tidak ada raut wajah penjahat. Dia melihat wanita paruh baya yang bisa ia tebak sebagai asisten rumah tangga yang disewa oleh Kekasihnya. "Siapa?" Tanyanya memastikan.

"Perkenalkan, Namaku Elizabeth Walker. Aku adalah asisten rumah tangga yang disewa tuan Érique." Jelas wanita itu. Victoria mengamati sebentar wanita itu.

"Masuklah! Anggap rumah sendiri, maksudku kau tak perlu canggung. Aku adalah kekasih Érique." Jelas Victoria. Dia membuka pintu dan mengantar Elizabeth.

"Kau tidak tinggal ya?" Tanya Victoria. Wanita paruh baya itu tak membawa tas pakaian. Mungkin ia disewa sampai Érique pulang kerja. Itu tidak masalah bagi Victoria. Yang terpenting ia punya teman bicara. Dia hanya ingin memastikannya.

"Tidak, disini saya hanya sampai jam tiga sore. Oh ya, dimana dapurnya? Ini sudah waktunya minum susu. Tuan Érique ingin aku memastikan kebutuhanmu." Kata Elizabeth. Dengan senang hati Victoria menunjuk arah dapur.

"Disana! Tapi kurasa kau tidak perlu membuatkannya. Aku hanya butuh teman bicara." Jelas Victoria. Tentusaja Elizabeth tidak setuju. Pekerjaannya bukan hanya menemani Victoria tetapi juga membersihkan rumah itu.

"Ini sudah tugasku! Dan aku wajib melakukan pekerjaan itu. Tuan Érique ingin agar calon bayinya tetap sehat." Balas Elizabeth. Victoria pasrah, apa yang harus ia lakukan. Dari dulu Érique memang selalu protektif padanya. Ia hanya perlu menuruti perlakuan istimewa kekasihnya itu.

Elizabeth meninggalkan Victoria. Wanita tua itu berjalan menuju dapur dan membuatkan susu pada wanita itu. Ada hal yang disembunyikan Elizabeth. Raut wajahnya menjelaskan sesuatu yang aneh. Dia tidaklah sebaik wajahnya. Dia membubuhkan sesuatu ke dalam gelas susu hamil Victoria.

Diruang tamu Victoria menyalakan perapian agar tubuhnya bisa hangat. Setelahnya, Dia kembali fokus menonton televisi. Elizabeth datang membawa segelas susu untuk Wanita itu. "Ini susu hamilnya!" Kata Elizabeth sambil mengulurkan susu pada Victoria.

"Terima kasih, Elizabeth." Balas Victoria. Senyum terukir di bibirnya.  Dia meletakkan susu itu dimeja membuat semburat aneh semacam rasa kesal tercetak di wajah Elizabeth. Victoria tak sempat melihat ekspresi itu.

"Minumlah! Susu itu masih hangat!" Bujuk Elizabeth. Victoria menatapnya kembali, tatapan itu sangat meneduhkan. Perhatian Wanita tua itu membuat Victoria tersentuh. Andai ibunya sebaik Elizabeth.

"Kau perhatian sekali! Aku akan meminumnya nanti! Aku tidak bermaksud menyinggungmu. Aku hanya belum haus saja." Kata Victoria berharap Elizabeth mengerti. Wanita tua itu diam. Bibirnya mengukir senyum tak suka.

"Baiklah." Balas Elizabeth pasrah. Dia ikut menonton tv bersama Victoria. Kehadirannya memang hanya untuk membuat Victoria tidak kesepian di rumah. Mengingat bahwa Érique belakangan mulai sibuk karena pekerjaannya. Film yang mereka tonton adalah film bergenre thriller, banyak pembunuhan disana. Victoria mulai menggemari film seperti itu karena rasa kagumnya terhadap kekasihnya, Érique.

"Kau suka seorang detektif?" Pertanyaan Elizabeth membuat Victoria berbalik menatap wanita tua itu. Ruangan tamu mulai menghangat karena perapian. Victoria mengangguk.

"Aku sangat menyukainya. Detektif sangat keren sama seperti Érique. Mereka adalah pembela keadilan. Mereka bisa menghukum para penjahat. Dan mengungkap kebenaran." Jelas Victoria. Elizabeth tersenyum miring.

"Justru aku sebaliknya." Kata Elizabeth membuat Victoria merasa bungkam. Untuk pertama kalinya ia tak bisa berkata apapun. Perkataan Elizabeth sangat tiba-tiba. Dan secara terang-terangan mengatakan tak menyukai profesi kekasihnya.

"Kenapa?" Tanya Victoria. Dia penasaran dengan jawaban Elizabeth. Karena menurut pengamatannya tak ada yang salah dengan detektif. Seorang detektif sangat sempurna di matanya.

"Dua tahun lalu, anakku di hukum mati karena kesalahan detektif. Anakku dituduh membunuh, hatiku perih melihat anakku mati dengan cara yang tidak hormat. Bahkan setelah mati, Para tetangga mengucilkanku dan putraku. anakku di cap sebagai pembunuh. Hatiku bagai dirobek paksa. Kau tahu, Aku hanya memiliki seorang putra dan dia meninggalkanku hanya karena salah vonis. Itu semua karena detektif. Sekarang aku sendirian." Jelas Elizabeth. Air matanya perlahan jatuh membasahi pipinya. Victoria merasa bersalah telah memuja detektif di depan wanita paruh baya itu.

Victoria memeluk wanita itu. "Maafkan aku! Aku sama sekali tidak tahu! Aku tidak tahu kalau di negeri ini ada juga detektif dengan kinerja buruk. Aku akan mengatakan pada Érique semua ini. Detektif itu harus di hukum!" Tegas Victoria. Dia tidak percaya di dunia ini ada detektif seburuk itu.

"Tidak perlu! Aku juga sudah mengikhlaskan putraku! Tak ada yang perlu dilakukan. Percuma saja. Anakku sudah mati." Ucap Elizabeth dengan mata berair. Victoria terus menenangkan wanita tua itu. Di dunia ini banyak kejutan. Dia yang dulunya melihat sisi baik detektif menemukan sisi janggal yang sangat buruk. Dia baru tahu ternyata ada kejadian seperti itu di dunia kepolisian.

"Maaf, aku terlalu emosional!" Kata Elizabeth pada Victoria. Justru Victoria merasa berterima kasih bahwa wanita itu memberitahukan dirinya hal baru tentang dunia keamanan Amerika.

"Tidak. Justru aku senang kau berbagi cerita." Balas Victoria. Untuk menenangkan Elizabeth, ia mengganti channel tv dengan acara pemberitaan. Dia tidak ingin Elizabeth, semakin tertekan.

"Minumlah susunya! Kau tidak perlu mengkhawatirkanku." Kata Elizabeth. Victoria setuju, tangannya perlahan memegangi gelas susu itu. Saat gelas itu sudah berada di sudut bibirnya, Ketukan pintu membuatnya kaget. Gelas itu jatuh di lantai. Teror belakangan ini membuatnya semakin penakut.

"Maafkan aku Elizabeth! Nanti kubuat lagi. Kau tidak perlu repot. Oh ya, aku buka pintu dulu ya!" Ucap Victoria. Belum sempat keluar, tangannya dicekal oleh Elizabeth.

"Biarkan saya membukanya. Kau bisa membuat susu! Anakmu pasti kelaparan di dalam sana! Itupun kalau kau mau!" Kata Elizabeth, Victoria tersenyum. Wanita yang ada di depannya sangat tegar, bahkan dalam keadaan sedih ia masih bisa membantu dirinya. Wanita yang jarang ia temui. Tidak seperti ibu kandungnya yang kini terasa asing.

"Baiklah, Jika itu tamu penting. Suruh saja ia masuk!" Kata Victoria. Elizabeth mengangguk.

Victoria melangkah masuk ke dapur. Wanita itu membuat susu untuk janinnya. Érique bisa marah kalau anaknya tak diberi nutrisi apalagi sudah ada Elizabeth yang menjadi kaki tangannya. Membayangkan bagaimana ekspresi marah Érique membuatnya tersenyum. Dia sangat menyukai laki-laki itu. Elizabeth membuka pintu.

"Ini rumah tuan Érique?" Tanya seorang wanita. Elizabeth menatap tajam wanita di depannya. Ia tidak suka melihat kehadiran orang itu. Semua rencananya akan berantakan jika Victoria melihat kedatangannya.

"Ya, kau asisten rumah tangga kan? Maaf, Tuan Érique sudah menemukan pembantu. Dan orang itu adalah saya. Jadi pergilah!" Pinta Elizabeth lalu menutup pintu dengan kasar. Wanita yang ada diluar tidak mengerti dan memilih pergi dari tempat itu.

"Siapa yang datang?" Tanya Victoria. Wanita itu duduk dan meminum susu hamilnya. Elizabeth memandang sinis Victoria saat tidak melihat dirinya. Seolah ada dendam yang tersembunyi dalam hatinya.

"Hanya sales yang menawarkan barang." Jawab Elizabeth. Victoria sama sekali tak merasa curiga. Menurutnya orang yang pernah merasakan sakit tidak akan membiarkan orang lain merasakan sakit yang sama. Victoria menyamakan semua orang seperti yang ia rasakan. Masa kecilnya buruk maka ia tak akan membiarkan masa depan anaknya buruk juga.

***

Sore hari, Érique pulang dengan kemeja yang cukup berantakan. Kancing baju bagian atasnya lepas hingga bulu dadanya sedikit tampak. Tubuhnya terasa lelah setelah bolak-balik dari TKP ke kantor polisi. Belum lagi di tempat kerjanya ia selalu dilibatkan dengan Bella. Setiap ada kasus pembunuhan ia harus membicarakannya pada dokter Bella untuk mengetahui penyebab kematian mayat. Hal itu membuatnya kurang nyaman mengingat Bella adalah mantan kekasihnya. Victoria akan marah jika tahu soal itu. Saat ia sampai di rumah, Elizabeth sudah pergi.

"Kakak sudah pulang?" Tanya Victoria saat melihat calon ayah dari janinnya. Mereka sudah bertunangan tapi masih enggan untuk menikah. Érique tak menjawab. Dia mendekati Victoria lalu mencium bibir wanitanya sangat lama seolah hal itu memberinya kekuatan.

"Aku lelah! Kau masak apa, sayang?" Tanya Érique. Lelaki itu melepas sepatunya tepat di depan Victoria yang berada di ruang tamu. Rasanya malas melepas sepatu itu di rak sepatu.
"Sandwich. Kakak suka?" Tanya Victoria sambil mengambil sepatu Érique untuk dibawa ke tempat penyimpanan sepatu. Kemudian membawakan sendal untuk pria itu. Setiap hari ia melakukan hal itu. Sudah kebiasaan pria itu merepotkan dirinya. Érique memeluk wanitanya dari belakang. Pria itu kembali menciumi leher Victoria.

"Temani kakak makan!" Bisiknya. Victoria mengangguk setuju hingga keduanya masuk ke dalam ruang makan. Érique makan sangat lahap, dia merasa sangat kelaparan. Melihat tingkah kakaknya membuat Victoria tersenyum manis. Dimatanya kakaknya sangat lucu dan menyenangkan.

"Jangan lihat kakak seperti itu! Lebih baik kau makan! Ini!" Pintanya sambil menyodorkan sepotong sandwich ke arah Victoria. Wanita itu membuka mulutnya hingga Sandwich itu masuk ke dalam lambungnya. Keduanya tersenyum satu sama lain.

"Kak Érique lucu!" Kata Victoria. Berada di dekat Érique membuat dirinya merasanya nyaman dan terlindungi. Dia tidak takut lagi dengan apapun. Apalagi setiap hari Elizabeth menemaninya.

"Kalau tidak lucu, nanti kamu pergi meninggalkan kakak!" Balas Érique. Baginya Victoria adalah segalanya bagaikan oksigen yang membuatnya bertahan hidup. Victoria adalah bagian dari hidupnya yang tak bisa ia lepaskan. Victoria melempar selembar tissue pada Érique, dia merasa kakaknya bergombal. Tingkah Victoria itu memancing Érique berjalan ke arahnya.

"Kita ke kamar yuk!" Bisik Érique pada Victoria. Victoria mengangguk hingga keduanya berjalan masuk ke dalam kamar. Disana Victoria menyalakan televisi. Jam seperti ini biasanya Érique suka menonton acara Smackdown live di channel cbstv. Sebenarnya Victoria tidak suka menontonnya. Namun, Érique selalu memintanya bersama. Lelaki itu nyaman menonton sambil memeluk tubuh Victoria. Dan hal itu juga disukai Victoria. Bukankah mereka saling menguntungkan.

"Kak acaranya sudah mau mulai!" Teriak Victoria. Érique yang tadinya ingin mandi terpaksa menunda aktifitasnya. Pria itu mendekat Victoria dan duduk di sofa. Mata Érique memberi kode pada victoria.

"Sini!" Panggil Érique pada wanitanya. Dengan senang hati wanita itu mendekat hingga otot bisep milik Érique memerangkapnya dalam sebuah dekapan hangat. Victoria memejamkan matanya dalam dekapan kekasihnya. Hal yang selalu ia nantikan setiap harinya.

"Bagaimana tadi? Apa asisten rumah tangganya baik?" Tanya Érique dengan mata fokus melihat pergulatan antara Randy Orton vs John Cena. 

"Ehmm.. Dia baik bahkan akrab padaku! Dia juga mengatakan secara terang-terangan bahwa dia tidak suka detektif!" Jelas Victoria. Seketika Érique merasa tegang. Matanya memandangi Victoria yang sedang memejamkan mata. Menurut yang ia ketahui orang semacam itu biasanya menyimpan dendam. Érique curiga tapi tidak menampakkannya, takut Victoria salah paham dan menganggapnya berprasangka buruk.

"Oh ya, Baguslah kalau begitu. Siapa namanya?" Tanya Érique. Dia mengorek informasi sedetail mungkin. Dia harus tahu seperti apa asisten rumah tangganya. Berdasarkan yang ia dengar, Orang itu berbahaya.

"Namanya Elizabeth! Saat ia datang dia bahkan membuatkanku susu." Jawab Victoria. Érique mulai khawatir. Pergulatan di tv seakan tak menarik lagi. Victoria mungkin saja berada dalam bahaya.

"Dan kau meminum susu itu? Apa yang kau rasakan setelahnya?" Tanya Érique. Pertanyaan dari Érique membuat Victoria merasakan bahwa kakaknya curiga. Dia membuka matanya dan melepas pelukan kakaknya. Dia butuh bicara serius.

"Kakak curiga dengannya? Kakak tolong jangan berprasangka buruk! Elizabeth adalah wanita yang baik. Dia membuatkanku susu lalu aku meminumnya. Sekarang aku tidak apa-apa. Tolong jangan terlalu paranoid kak!" Kata Victoria. Nada bicaranya menjelaskan ketidaksukaan Victoria dengan sikap curiga kakaknya. Érique berusaha menenangkan Victoria. Setelah hamil Victoria lebih emosional.

Érique memeluk wanita itu. Dia menenangkannya dengan bujuk rayu manisnya. "Maafkan kakak ya! Oke, kakak tidak akan curiga lagi. Yang penting kamu bisa jaga diri. Kakak mencintaimu." Kata Érique dengan nada lembut. Tak lupa ia mengecup puncak kepala Victoria. Setidaknya wanitanya tenang dulu. Dia terus memikirkan cara untuk menyelidiki Elizabeth. Dia masih curiga pada wanita yang dimaksud Victoria itu.

Bab 3:

Victoria bangun dari tidurnya lebih awal dari biasanya. Wanita itu bahkan lupa kapan ia tidur semalam, mungkinkah saat ia menemani Érique menonton WWE Smackdown? Dia menggeleng, kenapa ia harus memikirkan hal sepele itu. Yang terpenting bahwa sekarang ia sudah bangkit kembali setelah beberapa jam mati kecil. Dia melangkah menuju dapurnya yang kecil dan sederhana. Hanya ada beberapa tempat penyimpanan bahan makanan kompor, pemanggang roti, dan perabotan rumah tangga lainnya. Victoria membuka kulkas dan mengambil roti gandum di dalam sana. Kemudian roti itu di panggang beberapa saat. Setelah selesai, Ia memasukkan potongan sossis rasa sapi di tengah roti itu. Dia sangat menikmati kebersamaannya bersama Érique. Sungguh takdir yang membahagiakan.

"Sayang! Kamu dimana? Bisa ambilkan handuk?" Teriakan Érique selalu menghiasi paginya. Pria itu sudah terbiasa masuk kamar mandi tanpa membawa handuk. Victoria hanya bisa sabar melayani pria itu. Dia sama sekali tak pernah mengeluh, tidak seperti kaum feminisme yang selalu menuntut kesetaraan gender. Menurut Victoria, gerakan perempuan itu cukup berlebihan apalagi di zaman post modern ini. Apalagi yang bisa di tuntut, toh perempuan sekarang sudah di akui kebebasannya. Dia bisa menulis karya, memimpin, dan masih banyak lagi.

Victoria membuka lemari bajunya dan mengambilkan handuk berwarna merah untuk kakaknya. Setelah handuk itu ditangannya. Dia melangkah menuju kamar mandi dan mengetuk pintu kamar mandi. "Kak ini handuknya! Jangan lupa lagi!" Ucap Victoria dari luar pintu.

"Tidak dikunci, Sayang. Kau bisa masuk." Balas Érique. Victoria membuka setengah pintu. Tangan kanannya masuk ke dalam kamar mandi sambil menyodorkan handuk berwarna merah untuk kakaknya. Érique malah membuka lebar pintu itu membuat Victoria sontak kaget.

"Kakak jorok!" Ledek Victoria karena kesal. Érique hanya bisa menertawainya. Wanita itu memang selalu menjadi incaran godaannya. Lelaki itu mengambil handuk dari kekasihnya.

"Tidak perlu berlebihan, Sayang! Kau sudah melihatnya setiap malam." Ucap Érique dengan kalimat ambigunya. Victoria enggan melihat pria itu. Dia memilih pergi.

"Mandi yang bersih ya kak! Kalau bisa otaknya dicuci sekalian. Biar tidak ada kotorannya lagi." Balas Victoria. Dia melangkah meninggalkan lelaki itu. Érique terus saja menertawai tingkah Victoria. Wanita itu sangat lucu dan menyenangkan baginya.

Sepuluh menit kemudian, Érique sudah rapi dengan jas kerjanya. Victoria memasangkan dasi bergaris-garis di atas kemeja putih prianya. "Kapan Elizabeth datang?" Tanya Érique. Dia berencana menemui orang itu dulu. Dia tidak ingin Victoria dijaga oleh orang yang salah. Victoria melototinya dengan curiga.

"Kakak masih curiga?" Victoria kembali bertanya. Érique hanya tersenyum, tangan kirinya mengambil roti panggang buatan Victoria lalu melahapnya.

"Tidak, hanya saja kakak harus tahu bagaimana orangnya. Kakak bisa tahu mana orang jahat dan baik." Jawab Érique dihadiahi pukulan oleh Victoria. Alasan pria itu cukup masuk akal mengingat dia sangat protektif terhadapnya.

"Sebentar lagi dia datang. Tapi aku ingatkan, jangan berani menuduhnya di depanku." Tegas Victoria. Wanita itu tidak mau ada kesalahpahaman sama seperti anak Elizabeth hingga harus di hukum mati. Dia menginginkan kakaknya menjadi detektif yang baik dan tidak semenah-menah.

"Oke, Sayang! Aku berjanji." Balas Érique sambil mencium kening, mata, hidung, dan bibir Victoria. Segala sesuatu dari wanita itu selalu menjadi obsesinya. Dia menginginkan Victoria selamanya, tak ada yang lain.

Beberapa saat kemudian sosok yang di tunggu-tunggu datang. "Itu pasti Elizabeth! Aku buka pintunya dulu ya kak!" Ucap Victoria pada kekasihnya, Érique mempersilahkannya.

"Baiklah, jangan lama-lama. Kakak tidak bisa jauh dari kamu jika berada di rumah." Balas Érique membuat Victoria seketika merona dengan gombalan datar pria itu. Érique kembali menyantap roti panggang buatan Victoria. Otaknya terus saja memikirkan Elizabeth yang menurutnya berbahaya bagi Victoria. Seperti apa orangnya. Dalam satu hari saja Victoria sudah terdoktrin dan memihak Wanita tua itu. Bagaimana jika sebulan, apa Victoria akan melupakan tentang Érique dan dunia detektifnya. Sosok itu muncul di depan mata Érique.

Érique mengamati Elizabeth dari bawah sampai atas tubuhnya. Érique sempat menangkap mimik tidak suka pada wanita tua itu. Namun saat itu juga Elizabeth menyapanya dengan sangat ramah. "Nama saya Elizabeth tuan." Ucap Elizabeth, Érique tersadar dan menjabat tangan orang itu.

"Aku Érique Givanno." Balasnya. Pria itu berusaha menyembunyikan rasa curiganya. Dia harus berpura-pura lebih dulu agar Victoria tetap aman. Setidaknya hanya untuk hari ini, Lagipula belum tentu juga wanita itu penjahat. Hanya saja Érique merasa ada yang janggal, terlebih lagi Elizabeth tidak menyukai detektif.

"Aku titip Victoria padamu. Dia sangat keras kepala, jadi pastikan dia tidak melakukan hal yang aneh." Kata Érique pada wanita itu. Victoria senyum-senyum sendiri melihat tingkah posesif kakaknya.

"Baiklah tuan." Balas Elizabeth dengan lembut. Érique bangkit, ia sudah melihat wajah orang yang menjadi asisten rumah tangganya. Tidak ada kejahatan yang tergambar di wajahnya. Tapi siapa yang tahu, Don't judge book by it's Cover.  Jika ada masalah ke depannya, ia akan menangkap orang itu jika terbukti sebagai penjahat. Pria itu mendekat pada Victoria.

"Aku pergi dulu ya sayang." Bisik Érique pada wanita itu. Sebelum pergi, ia mengecup puncak kepala wanita itu. "Hati-hati!" Balas Victoria. Érique perlahan jauh dari pelupuk matanya.

"Dia sangat tampan, bukan?" Tanya Victoria meminta pendapat Elizabeth. Mungkin kalimat itu bisa mencairkan suasana pagi mereka. Wanita tua itu tersenyum.

"Tentusaja, Dia sangat serasi untukmu." Jawab Elizabeth. Victoria merasa senang atas responnya, tingkat kepercayaannya semakin dalam pada wanita itu. Dia merasa Elizabeth adalah wanita yang baik, tidak seperti yang dikatakan Érique. Èlizabeth adalah perempuan inspiratif bagi Victoria.

Victoria tertawa renyah. "Kau bisa saja, Elizabeth!" Ucap Victoria.

"Panggil Ellie saja, Elizabeth terlalu panjang dan kurang enak di dengar." Kata Wanita itu. Victoria mengangguk setuju, hal itu memang membuatnya sedikit kesulitan dan kurang nyaman di ucapkan olehnya.

"Baiklah, Ellie." Balas Victoria. Keduanya saling tersenyum satu sama lain. Kehadiran Elizabeth membuat Victoria tak kesepian lagi. Bahkan rasa takut yang belakangan menggerogotinya kini sirna bagai ditelan bumi.

"Perutmu mulai buncit. Kau tidak berniat periksa ke dokter?" Tanya Elizabeth. Saran Wanita itu membuat Victoria tersadar. Memang sudah waktunya mengecek kandungannya. Belakangan ini dia lupa karena Érique pun mulai sibuk mengurus beberapa kasus pembunuhan.

"Kurasa itu akatifitas yang baik untuk hari ini." Jawab Victoria di sertai senyum merekah. Dia juga penasaran dengan bentuk anaknya di dalam rahimnya, Apakah laki-laki ataukah perempuan. Wanita itu setuju dengan saran Elizabeth.

"Aku ganti baju dulu." Tambah Victoria. Dia meninggalkan Elizabeth yang berdiri diam di ruang tamu. Dia benar-benar terkesan dengan ide yang di usulkan Ellie.

***

Érique mengamati dengan seksama mayat yang ada di depannya. Pagi ini ia berada di rumah sakit melakukan otopsi pada mayat akibat pembunuhan. Dia tidaklah sendiri. Ada dua rekannya yang bernama Anne dan Stefan. Di tambah lagi dengan Dokter Bella, mantan kekasih Érique. Pagi ini Érique merasa suram, dia harus bertemu dengan wanita yang pernah mengkhianatinya.

"Menurut hasil pemeriksaanku, James tidak mati karena kecelakaan. Aku menemukan ada bekas suntikan di bagian lengannya. Ini adalah pembunuhan terencana." Jelas Bella kepada tiga detektif di depannya.

"Aku sudah menduganya." Balas Érique dengan nada bicara datar. Seolah ia menganggap Bella hanyalah dokter yang baru ia kenal. Bella terus memandangi Érique. Dia tidak bisa fokus, saat melihat pria itu, dia malah teringat kenangan manis bersamanya. Kenangan yang tidak akan pernah terulang lagi.

"Anne, Stefan! Tolong cari bukti apapun yang menyangkut James di TKP. Kita harus mengungkap semua ini." Pinta Érique pada kedua rekannya.

"Baiklah, aku serahkan seluruh riwayat kematiannya padamu." Balas Anne lalu menarik tangan Stefan untuk pergi. Kini hanya ada Érique dan mantan kekasihnya. Érique melirik dan mencari sesuatu di balik mayat di depannya. Dia memeriksa kantong jas mayat lelaki itu.

"Kau sudah berubah Rik!" Seru Bella membuat Érique mengalihkan pandangannya menuju arah mantan kekasihnya. Bella menyilangkan tangannya di depan dada. Sementara Érique menghentikan aktifitasnya pada mayat yang ia tangani.

"Semua orang bisa berubah karena pengkhianatan." Balas Érique. Dia sengaja menyindir wanita di depannya. Perkataan itu benar-benar menusuk hati Bella. Memang salahnya hingga hubungan keduanya berakhir, tapi itu juga salah Érique yang lebih mementingkan adiknya dan menomorduakan dirinya.

"Aku masih mencintaimu, Rik. Aku menyesal dengan semua yang telah terjadi." Kata Bella berharap lelaki itu masih menyimpan rasa terhadapnya. Pernyataan Bella membuat Érique tersentak kaget.

"Aku mencintai Victoria dan sudah melupakanmu. Ini hanyalah hal sepele dan aku tidak mau kau berharap padaku lagi." Balas Érique. Jawaban itu sungguh menyakitkan bagi Bella. Mati-matian ia berusaha mengungkapkan perasaannya dan dia berakhir dengan penolakan. Nasibnya benar-benar malang. Dunia tidak berpihak padanya lagi.

Dua jam mereka terperangkap dalam diam. Érique hanya menanyakan soal mayat itu dan tidak peduli dengan perasaan Bella. Mungkin seperti itulah sakit Érique saat ditinggalkan. Mereka keluar dari ruang mayat beberapa jam kemudian.

"Kudengar Victoria hamil, Selamat atas kalian. Kuharap kita bisa berteman." Kata Bella pada Érique. Perlahan Érique melirik Bella, ide untuk memanas-manasi wanita itupun muncul dalam otaknya. Érique mengukir senyum bahagia.

"Aku sangat bahagia. Sebentar lagi aku menjadi seorang Ayah. Untungnya anakku dikandung wanita yang baik. Kurasa Victoria cocok denganku. Aku bisa menemukam kecocokan diantara kami. Dia tidak pernah membantah perintahku dan juga menyayangiku." Jelas Érique. Mendengar itu membuat Bella merasa jengkel.

"Kuharap kau memperlakukannya sebagai wanita bukan seperti anjing." Ucap Bella lalu mencium pipi pria itu. Mata Érique terbelalak, ia ingin marah. Namun Bella pergi dengan langkah cepat. Lelaki itu diam membatu.

Seluruh kejadian itu disaksikan langsung oleh kedua mata Victoria. Saat dimana Érique tersenyum dan saat Bella menciumnya. Apa yang ia lihat seakan Érique bahagia. Namun hati dan pikirannya terus mengelak apa yang ia lihat. Érique tidak mungkin selingkuh darinya. Apalagi ia sedang mengandung anak lelaki itu.

"Apa kita tidak pulang sekarang?" Tanya Elizabeth. Barusaja mereka keluar dari ruangan dokter kandungan. Kabar bahagia tentang bayinya sehat dan berjenis kelamin laki-laki seakan sirna, berubah menjadi kesuraman. Victoria diam membuat Elizabeth ikut melirik ke arah Érique. Wanita paruh baya itu memahami apa yang dirasakan  Victoria. Dia cemburu melihat Érique bersama wanita lain.

"Kupikir dia selingkuh!" Seru Elizabeth. Érique berjalan pergi tanpa tahu disekitarnya ada Victoria. Dia sama sekali tak berpikir wanitanya pergi ke rumah sakit yang sama. Victoria berbalik dan melotot ke arah Ellie.

"Tidak, Ellie! Érique laki-laki yang baik, Dia bertanggungjawab. Dia tidak akan selingkuh! Kami bahkan tak pernah bertengkar." Jelas Victoria. Ellie tertawa saat mendengar ucapan Victoria membuat wanita itu tak mengerti. Apa yang lucu dan kenapa ellie tertawa.

"Justru karena kalian tidak pernah bertengkar, itulah adalah tanda bahaya dalam hubungan kalian. Érique mungkin saja baik di depanmu agar kau tidak curiga. Lihatlah saat dia pulang, bagaimana perlakuannya padamu." Ucap Ellie. Victoria berusaha mencerna kalimat Wanita paruh baya di depannya. Perkataan itu ada benarnya juga.

"Érique sejak awal memang baik padaku, ia sama sekali tak berubah. Dia selalu protektif padaku dan aku percaya kesetiaannya." Sangkal Victoria, meski otaknya terus saja memikirkan ucapan Ellie. Wanita tua itu tersenyum miring padanya.

"Baiklah, Dalam hubungan memang seharusnya ada saling percaya satu sama lain. Kuharap kau bisa bahagia dengannya. Tapi ingatlah, laki-laki itu serakah. Ketika ia menemukan Wanita yang lebih cantik ia akan berpaling." Balas Ellie. Mereka berdua pulang ke rumah.

***

Victoria terdiam, Sampai di rumah ia gelisah bahkan Ellie bisa menyadari akan hal itu. Satu jam yang lalu Wanita paruh baya itu sudah pergi. Kini Victoria sendiria. Dia mondar-mandir tidak jelas di ruang tamu. Wanita itu menggigit kukunya karena merasa gugup. Sesekali ia melirik jam elektronik di dindingnya. Sekarang waktunya Érique pulang ke rumah.

Dua jam menunggu, bel pintu rumahnya berdering. Victoria membuka pintu dan melihat sosok Kakaknya yang tampan dimatanya. Érique mencium bibirnya sekilas sama seperti kebiasaannya selama ini. Lelaki itu melepas sepatunya dan memasuki ruang tamu bersama wanitanya.

"Bagaimana harimu, Sayang? Menyenangkan?" Tanya Érique sambil memainkan rambut Victoria. Wanita itu merasa gugup dan takut, apa yang ia lihat tadi siang membuatnya terbebani. Dia mulai ragu dengan kesetiaan Érique ditambah lagi pernyataan Elizabeth.

"Cukup menyenangkan." Jawabnya seolah ia baik-baik saja. Érique merasa ada yang aneh dengan Victoria tapi tidak tahu letaknya dimana. Apa yang salah.

"Ada yang salah hari ini? Sesuatu yang buruk terjadi?" Tanya Érique dengan mata membulat seolah meminta jawaban memuaskan. Lelaki itu memeluk tubuh Victoria agar wanita itu rileks. Tubuh Victoria tampak sangat tegang. Ia tahu ada sesuatu yang tersembunyi.

"Tidak. Tidak ada sama sekali. Aku hanya terlalu kesepian." Jawab Victoria. Dia ragu dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Érique melepas pelukannya dan memandangi manik matanya. Victoria tetap teguh tidak mau bicara.

"Baiklah." Balas Érique. Dia tahu bahwa Victoria belum siap berbagi. Lelaki itu mengajak kekasihnya masuk kamar. Di dalam kamar ia mengganti pakaiannya dan Victoria sendiri duduk pasrah di pinggir ranjang.

"Kakak masih mencintai Bella?" Pertanyaan Wanitanya membuat Érique mendekatinya. Ternyata masalah Bella yang mengusik Victoria. Dia mulai mengukir senyum dan membelai rambut pirang Victoria.

"Tentusaja tidak, Sayang! Kakak mencintaimu lebih dari apapun." Jawab Érique. Victoria sedikit tenang, namun ia harus mengetes kakaknya. Sampai dimana lelaki itu mencintainya. Dia tak ingin ada kebohongan dalam kehidupannya.

"Kapan terakhir kali kakak bertemu Bella?" Tanya Victoria. Érique terbelalak mendengar pertanyaan itu. Itu adalah pertanyaan yang sulit ia jawab. Dia takut Victoria marah jika tahu Bella menjadi partner kerjanya.

"Aku tidak pernah bertemu lagi dengannya selama berpisah karena..." ucapan Érique terputus saat melihat Victoria meneteskan air mata. Entah apa yang dipikirkan wanitanya itu.

"Kenapa menangis? Ada apa Victoria?" Tanya Érique. Victoria diam membisu tak mengeluarkan sepatah katapun. Kebohongan dari kakaknya membuatnya tidak percaya. Kenapa lelaki itu tega membohonginya. Victoria memeluk Érique dengan linangan air mata.

"Dalam bodohku, aku mencintaimu kak! Aku akan setia meski aku bukanlah satu-satunya. Aku akan bertahan sampai hati ini tak mampu lagi menahan sakit yang kau berikan." Batin Victoria.

"Jangan tinggalkan aku kak!" Bisik Victoria di telinga Érique. Pengkhianatan tidak akan ia balas dengan pengkhianatan. Ia tetap memilih setia meski hatinya yang rapuh tak menginginkan semua aktifitas bodohnya.

Érique mengelus punggung Victoria. Dia berusaha meyakinkan wanita itu bahwa ia bisa menjaga dan melindunginya. "Apa yang membuatmu ragu? Kakak berjanji tidak akan pernah meninggalkanmu. Tolong kita jangan bahas ini lagi. Serahkan semuanya pada kakak! Kakak mencintaimu lebih dari apapun, Percayalah!" Pinta Érique. Victoria merasa nyaman dengan sentuhan pria itu.

"Aku akan percaya semua kata yang terucap dari bibir kakak." Ucap Victoria diselah pelukannya. Hatinya menangis berteriak. Sungguh menyakitkan saat ia tahu kakaknya mulai membohonginya. Satu kebohongan itu merusak dinding kepercayaannya selama ini.

"Aku akan menutup mataku dengan semua yang sudah kusaksikan, Akan kututup telingaku ketika orang lain menjelek-jelekkan dirimu. Aku diam agar kau tetap berada disampingmu. Aku akan percaya setiap kebohonganmu. Karena cintaku selalu tertuju pada satu orang yang sama." Batin Victoria.

Érique merasa lega dengan ucapan Victoria. Setidaknya wanitanya tidak lagi memikirkan persoalan mengenai Bella. Dia akan terus mempertahankan kepercayaan Victoria yang telah ia khianati dengan kebohongan.


Bab 4: 


Secangkir kopi hangat menemani pagi Érique. Dia sedang membaca majalah harian New York Times di bagian depan rumahnya. Keadaan Victoria kemarin membuatnya tak bisa tertidur. Ada hal yang terus terbayang di kepalanya. Victoria begitu sedih saat nama mantan kekasihnya keluar dari bibirnya. Dia adalah detektif cerdas, sedikit tahu tentang psikologi. Sikap Victoria menimbulkan tanda tanya besar di kepalanya. Dia memikirkan cara agar Victorianya kembali seperti dulu. Ini semua terjadi semenjak Elizabeth hadir dalam hubungannya. Wanita tua itu adalah dalang dari segala perubahan dalam diri Victoria.

Matahari Boston terbit begitu terang. Sinarnya seakan berwarna Orange. Érique meletakkan majalah yang ia baca lalu bangkit dari duduknya. Pria itu menelepon seseorang. "Halo Rik!" Sapa Seseorang melalui sambungan udara.

"Halo Anne! Mungkin hari ini aku tidak ikut dalam proses interogasi tim. Aku akan mengirimkan laporan hasil otopsi lewat e-mail. Apa kau tidak apa-apa?" Tanya Érique. Dia begitu mengkhawatirkan Victoria sampai memilih tidak berangkat kerja. Dia ingin berlama-lama dengan wanitanya.

"Tidak apa-apa Rik! Aku mengerti, kau pasti punya masalah. Kalau boleh tahu apa yang terjadi?" Tanya Anne lagi. Dia adalah partner kerja Érique, wanita yang sangat pengertian. Dia dan Stefan adalah partner kerja yang baik untuk Érique.

"Victoria membutuhkanku hari ini." Jawabnya singkat. Anne bisa mengerti, dia juga perempuan. Meski belum punya anak, tapi ia tahu bahwa wanita hamil sangat emosional di awal kehamilannya. Dan ini pertama kalinya ia mendengar Érique tidak masuk kerja hanya karena Wanita itu. Biasanya Érique tetap bekerja dan menyerahkan semuanya pada asisten rumah tangganya. Masalahnya pasti serius begitulah pikiran Anne.

"Baiklah, Semoga kau dan Victoria bisa bersenang-senang." Balas Anne. Wanita itu tidak ingin Érique bersedih. Ada rasa tersendiri yang tumbuh di hati wanita itu. Hampir 6 tahun ia bekerja dengan Érique dan ia bisa melihat bagaimana sisi menyenangkan dari pria itu.

"Selamat bekerja, Anne. Terima kasih telah mengerti keadaanku. Kau adalah partner kerja yang baik." Puji Érique. Anne tersenyum sendiri mendengarnya. Di dalam hatinya tumbuh keinginan untuk bersama pria itu. Sungguh mustahil baginya. Érique dengan tegas mengatakan mereka hanyalah partner kerja. Begitu miris dan menyakitkan baginya. Adakah yang lebih menyakitkan dari penolakan secara halus? Mungkin.

"Sama-sama. Tidak usah mengejekku dengan kalimat itu. Aku bukan partner kerja yang baik. Suatu hari aku akan menuntut. Jadi jangan senang dulu. Oh ya Rik, Aku ada pekerjaan. Aku matikan panggilannya ya!" Jelas Anne sedikit bercanda lalu kembali serius. Bicara terlalu sering pada Érique hanya membuat hatinya yang rapuh menumbuhkan harapan palsu. Harapan yang tak akan terwujud.

"Baiklah, Sampai ketemu besok." Kata Érique. Dia benar-benar bersyukur mempunyai teman seperti Anne. Dia sangat baik membuat dia merasa bersalah karena sering memamfaatkan kebaikan wanita itu. Semilir angin berhembus menyapa Érique.

"Sampai ketemu besok." Balas Anne lalu mematikan panggilan Érique. Dia sangat bersyukur punya teman sebaik Anne. Dia bisa merasakan perasaan wanita itu padanya. Jika ada kesempatan Érique selalu menegaskan bahwa mereka hanya teman kerja, Tidak lebih. Dia bukanlah satu dari banyak lelaki yang tidak peka.

Érique kembali menikmati kopinya. Biasanya Victoria bangun pagi, tapi hari ini tidak dan hal itu adalah tanda akan kerenggangan hubungan mereka. Érique sempat tenang karena Victoria mengatakan semuanya semalam bahwa Bella adalah penyebabnya dan malam itu juga mereka menyelesaikannya. Namun, atmosfer ketidakharmonisan ditunjukkan Victoria. Wanita itu tidak semanja dulu, harusnya ia lebih manja karena kehamilannya. Seakan Victoria menjauhinya.

Érique melangkah masuk ke dalam kamar. Dia melihat Victoria telah bangun, matanya bengkak seperti habis menangis, rambutnya di gulung ke atas hingga membuatnya sangat cantik. Érique menatap kosong wanita itu di depan pintu. Menyaksikan gerak-gerik wanitanya. Victoria tidak menyadari jika sepasang mata memperhatikannya. Érique mendekat hingga wanita itu tersadar.

"Kak Érique belum berangkat?" Tanya Victoria dengan suara lemah. Dia sudah berusaha tidak menampakkan kesedihannya. Tapi itu sangat sulit karena Érique adalah lelaki cerdas. Dia bisa membaca situasi.

"Belum." Jawabnya. Langkah Érique tidak berhenti sama sekali. Semakin dekat sampai Victoria berada di depannya. Dia menangkup wajah Victoria lalu menciumi bibirnya penuh cinta. Victoria sama sekali tak membalas hingga Érique melumat bibir itu. Ini sama seperti penolakan Victoria. Sungguh menyakitkan hati Érique, apa yang salah. Air mata lelaki itu jatuh begitu saja beriringan dengan pelampiasan cintanya yang membara lewat sentuhan manis bibirnya. Cairan bening itu menerpah pipi  Victoria hingga ia sadar dengan keadaan Érique.

"Kenapa kakak menangis?" Tanya Victoria. Érique menghapus air matanya. Dia mengutuk dirinya sendiri karena sifat emosionalnya. Kenapa ia harus menangis di depan Victoria. Hembusan nafas keluar dari mulut Érique.

"Hanya terharu saja." Ucapnya singkat. Érique tidak tahu harus bagaimana menjelaskan perubahan Victoria. Hal sederhana seperti tadi saja wanita itu enggan membalasnya. Seakan jijik pada dirinya. Victoria bangkit dari tempat tidur meninggalkan Érique dan mulai bercermin. Érique sangat menyayangkan tindakan Victoria. Seolah perasaannya tak berarti. Lelaki itu bangkit dan memeluk Victoria dari belakang. Dia membuang segala harga dirinya demi wanitanya.

"Kau mulai berubah semenjak kemarin. Kakak takut kau pergi. Aku ingin kita menikah, Kakak tidak mau kau pergi Victoria." Ucap Érique membuat Victoria berbalik hingga kedua mata bertemu.

"Aku tidak bisa menikah. Aku nyaman hidup seperti ini kak. Sama sekali tidak ada yang berubah." Balas Victoria. Pandangan matanya menggambarkan sakit di hatinya.

Érique memejamkan matanya frustasi. Victoria tiba-tiba saja menyandarkan kepalanya di dada Érique. Sementara Elizabeth datang dan masuk ke dalam kamar. Langkah wanita tua itu terhenti karena melihat keduanya. "Kalau ingin masuk ketuk pintunya dulu!" Kata Érique dengan nada tidak suka. Victoria menatap mata kakaknya. Dia tidak suka ucapan kasar kakaknya.

"Maaf, aku pikir tuan sudah pergi." Ucap Elizabeth. Melihat wanita itu membuat Érique kesal. Dia tidak suka Elizabeth, ada hal yang disembunyikan wanita itu. Dia telah merasuki Victoria, mengubah Victoria dalam hitungan hari.

"Tidak, Ellie! Harusnya aku yang minta maaf. Maafkan Érique yang sudah bicara kasar padamu." Balas Victoria. Érique semakin jengkel. Andai Elizabeth laki-laki mungkin sejak tadi sudah ia tonjok. Belum sempat Ellie bicara, Érique sudah memotongnya.

"Pulanglah! Aku hari ini tidak bekerja." Kata Érique datar. Victoria menatap tajam prianya itu. Bagaimana bisa dia tidak bekerja. Dia biasanya tidak seperti itu. Érique adalah lelaki pekerja keras. Lelaki profesional yang mampu membedakan dunia kerja dan kehidupan pribadi.

"Kak Érique!" Tegur Victoria. Dia tidak mengerti kenapa pria itu mencurigai wanita sebaik Elizabeth. Érique menghembuskan nafasnya. Victoria telah terpengaruhi oleh wanita paruh baya itu.

"Tidak apa-apa Victoria. Aku bisa pulang saja." Kata Elizabeth pada Victoria. Di dalam hati wanita itu menggerutu. Ada sesuatu hal buruk yang ia rencanakan. Ellie melangkah pergi, Victoria ingin menahannya. Tapi Érique menghalanginya. Sekarang ini Victoria lebih nyaman dengan Elizabeth ketimbang kekasihnya, Érique.

Érique membawa Victoria ke ruang makan. Victoria masih kesal dengan tingkah pria itu pada Elizabeth. Matanya memandangi kakaknya tidak suka. "Duduk disini dan Jangan menatap horor kakak seperti." Ucap Érique lembut lalu melangkah menuju dapur. Victoria pasrah dengan perlakuan kakaknya.

Érique memanggang roti lalu memtong sayur mentah dan sossis untuk dimasukkan ke dalam roti. Tanpa sengaja tangannya teriris pisau. Dengan cepat ia mengatasinya. Dia mengambil perban yang ada di dalam kulkas lalu menutupi lukanya. Sangat sulit melakukan pekerjaan dapur dengan satu tangan. Dia menata sarapan untuk Victoria selama dua puluh menit. Pekerjaan itu tidak semudah yang ia bayangkan. Biasanya ia melakukannya dengan cepat tapi hari ini adalah yang paling lama baginya.

Dia membawakan sepiring roti dan segelas susu untuk  Victoria. "Ini sarapan untukmu dan baby!" Seru Érique sambil mengukir senyum. Sikap manis kekasihnya membuat Victoria tersentuh. Andai tak ada Bella, mungkin dialah wanita paling beruntung di dunia ini.

"Aku masih kenyang kak." Kata Victoria. Perutnya terasa penuh, Makanan apapun tak bisa masuk ke dalam lambungnya. Pernyataan Victoria membuat Érique merasa usahanya sia-sia. Sepiring roti di tangannya tak tahu harus di apakan. Tanpa pikir panjang, Érique membuang makanan itu ke tempat sampah. Rasanya ia menyerah dengan perubahan Victoria. Ingin marah, tapi tidak tahu harus marah dengan siapa.

"Kak, kenapa rotinya dibuang?" Tanya Victoria. Dia tidak menyangka kakaknya melakukan tindakan itu. Érique begitu menyayangi Victoria, lebih baik ia marah pada dirinya sendiri daripada marah pada wanita itu.

"Sarapannya tidak enak, Rotinya hangus. Itu tidak bergizi lagi." Jawab Érique datar. Lelaki itu berjalan meninggalkan Victoria. Dia ingin mandi, jika terus berada di dekat wanita itu, ia akan marah. Air bisa memadamkan api amarahnya. Victoria sedang hamil dan sensitif, ia mengerti sikap wanita itu.

Victoria diam dan sadar akan sikap acuhnya terhadap lelaki itu. Érique biasanya lebih dewasa, tapi hari ini dia mungkin lelah menghadapi sikapnya yang kekanakan. Dia tak bisa membohongi kakaknya jika ia baik-baik saja. Érique mengorbankan pekerjaannya demi dirinya, menyiapkan sarapan untuknya. Namun, tak ia hargai. Wanita itu menyesal, ia ikut melangkah masuk ke dalam kamar.

Rasa takut mulai merasuk dalam jiwanya. Perbuatan baik kakaknya ia sia-siakan. Sekarang ia berdiri di depan kamar mandi, menunggu lelaki itu mandi. Ia harus minta maaf pada Érique, Dia bodoh telah membuat kakaknya marah. "Kakak maafkan aku." Batin Victoria

Érique merendam tubuhnya di bath tube. Dia belum siap menghadapi sikap acuh Victoria lagi. Wanita itu butuh waktu untuk melihat dirinya. Ada kesalahan yang ia lakukan hingga Victoria menjauhinya. Lelaki itu memejamkan matanya dan menikmati terpaan air pada tubuhnya. Rasa nyaman menyelimuti dirinya. Lelaki itu enggan untuk menyelesaikan aktifitas mandinya. Dia terbuai dalam guyuran air. Ini adalah aktifitas mandi paling lama yang ia lakukan. Sudah lebih dua jam ia berada di dalam sana. Victoria tidak akan sudi menemuinya. Dan lebih buruknya hubungan mereka lebih renggang lagi.

Victoria merasa mual. Di depan kamar mandi ia berdiri sangat lama. Perutnya terasa dililit dan di gulung. Perlahan ia mendekati sisi ranjang. Tak ada yang bisa ia muntahkan. Kamar mandi pun digunakan kakaknya. Wanita itu memegangi perutnya. Ia tak bisa menahan rasa mualnya lagi dan memuntahkan cairan bening yang begitu banyak di lantai. Sakit perutnya masih terasa. Ia bangkit untuk membersihkan muntahannya. Dia takut kakaknya marah ketika melihat aksi joroknya itu.

Victoria meringis karena sakit melandanya. Sangat sulit baginya untuk bergerak, sekuat tenaga ia membersihkan muntahannya dengan handuk yang ada di atas kasur. Disana banyak tumpukan handuk, mungkin Érique yang menaruhnya sebelum mandi. "Victoria!" Seru Érique. Victoria berbalik dan melihat lelaki itu. Dengan cepat ia membersihkan muntahannya. Lelaki itu tidak suka kamar mereka kotor.

Hati Érique bagaikan terpotong Chainsaw. Melihatnya dengan kondisi menyedihkan membuatnya sesak. Kenapa wanita itu tidak memanggil dirinya di kamar mandi. Dia dengan asyiknya mandi dan melupakan Victoria sendiri. "Aku akan membersihkannya kak. Aku tidak  akan muntah lagi. Ini yang terakhir. Kumohon jangan marah." Ucap Victoria dengan nada lemah. Dia begitu lemah karena sakit melandanya.

Érique menggeleng. Dia mengangkat tubuh Victoria naik ke atas ranjang dan membaringkannya. "Jangan berjuang sendiri lagi, Sayang! Kakak akan melakukan apapun untukmu, kakak bisa memenuhi kebutuhanmu. Sekarang diam dan tunggu kakak disini. Kakak ambil obat dulu." Tegas Érique pada wanitanya. Kenapa ini semua terjadi. Selama bertahun-tahun ia tak pernah membiarkan Victoria sendirian. Dan sekarang, betapa bodohnya ia yang memilih keegoisannya dan mengabaikan Victoria.

Érique memberikan pil dan roti agar sakit perut wanitanya sembuh. Victoria merasakan kehangatan yang menjalar di seluruh tubuhnya. Dia tidak akan menyia-nyiakan perhatian Érique. Apa yang ia lihat sebelumnya belum tentu benar, Érique berbohong mungkin karena ada alasannya. Seperti dirinya yang dulu berbohong bahwa ia selingkuh dan hampir membuat mereka nyaris berpisah selamanya.

Victoria meminum pilnya kemudian memeluk Prianya dengan sangat erat. Dia tidak ingin lelaki itu pergi darinya. "Maafkan aku kak, aku terlalu kekanakan, aku tidak bisa dewasa dan menghargai kakak. Aku bodoh dan tidak sepintar kakak." Ucap Victoria sambil mengeluarkan cairan beningnya.

"Jangan bicara seperti itu, Sayang! Kau tidak bodoh. Kau tidak pernah salah. Semua salah kakak, harusnya kakak tidak perlu emosional dan meninggalkanmu seperti tadi." Kata Érique menenangkan wanitanya. Kedua tangannya memerangkap tubuh mungil Victoria, pria itu mencium kening Victoria.

"Jangan tinggalkan aku kak. Kakak boleh bertemu Bella asal tidak meninggalkanku. Kakak boleh menikahinya yang terpenting bahwa aku masih ada dalam daftar orang penting hidup kakak. Kakak bersamaku dan membagi waktu dengan Bella." Kata Victoria membuat Érique tidak mengerti.

"Apa maksudmu, sayang? Apa maksudnya dengan berbagi dengan Bella? Kau tahu sesuatu." Tanya Érique penasaran. Victoria menyadari apa yang keluar dari bibirnya. Dia terdiam, perlahan pandangan matanya menelusuri mata hitam kakaknya.

"Aku ... aku sudah tahu kak! Aku tahu bahwa kak Érique masih mencintai Bella. Kakak bertemu dengannya setiap bekerja. Aku tidak apa-apa kak. Aku ..." ucapan Victoria karena jari telunjuk Érique menempel di bibirnya.

"Oke, kakak jujur sekarang. Ternyata kebohongan kakak yang membuat kau seperti ini. Bella adalah dokter yang bekerja sama dalam mengotopsi mayat dan kakak terlibat dengannya dalam hal pekerjaan. Tidak lebih, tidak ada kata cinta. Karena kakak hanya mencintaimu." Jelas Érique. Mendengar hal itu Victoria kaget. Jadi selama seharian ia hanya salah paham pada Érique. Penyesalan kembali menyelimuti dirinya. Victoria mengeratkan pelukan kekasihnya. Sakit diperutnya mulai berkurang. Mungkin karena pil pemberian kakaknya mulai bekerja. Ditambah lagi pelukan hangat dari prianya.

Betul kata Elizabeth bahwa di dalam hubungan haruslah ada rasa percaya satu sama lain. Victoria semakin yakin bahwa Elizabeth adalah wanita yang baik. Untuk sekarang ia berterima kasih atas saran wanita tua itu.


Bab 5:


Suhu udara kota New York lebih dingin dari biasanya. Musim dingin telah berlalu di gantikan oleh musim semi. Musim yang diyakini sebagai musim berbahagia. Dinginnya NYC sangat mencekam, membuat siapapun menggigil karenanya. Di kota inilah Victoria dan Érique berada. Mereka jauh-jauh berkendara dari Boston karena permintaan Ayah kandung Victoria, John Rick. Pria itu ingin anaknya datang menemuinya, ada hal penting yang ingin ia bicarakan. Érique awalnya menolak karena prihatin dengan kondisi wanitanya. Namun, Victoria terus memohon. Alhasil Érique menurutinya. Tidak ada yang lebih penting dari kebahagiaan Victoria.

Di depan mata mereka sudah ada rumah besar berlantai tiga. Nyaris bukan rumah melainkan kumpulan apartemen. Rumah itu hanya dihuni ayah dan ratusan pelayan. Jika dipikir-pikir, rumah itu mungkin bisa menampung penduduk satu kota Brooklyn. Victoria melangkah masuk dengan digandeng oleh Érique.

"Hai Sayang! Kau sudah datang?" Tanya John pada anaknya. Lelaki itu mencium pipi Victoria lalu memeluknya sebentar. Victoria merasa asing dengan perlakuan ayahnya. Dia tak menjawab dan memilih diam. Maklum saja, ia sejak kecil tinggal bersama Givanno, ayah kandung Érique. John tersadar akan kehadiran Érique.

"Siapa dia, sayang?" Tanya John lagi. Dia menampakkan mimik tidak suka dengan Érique. Hal itu sangat terlihat jelas. Victoria berbalik sebentar menatap kekasihnya. Sedetik kemudian ia kembali fokus pada ayah kandungnya.

"Dia, Érique. Dia adalah tunanganku Dad. Sebentar lagi kami akan punya anak." Jelas Victoria dengan bahagia. John menatap perut anaknya dan baru menyadari bahwa wanita itu hamil. Érique mengulurkan tangannya dan memperkenalkan dirinya. Namun, John tidak menggubrisnya hanya mengatakan bahwa lelaki itu tidak usah formal padanya. Reaksi ayahnya itu membuat Victoria sadar akan ketidaksukaannya pada Érique.

John mempersilahkan keduanya masuk ke dalam rumah mewahnya. Victoria menggenggam erat tangan Érique lalu memandangnya dengan mata berbinar cinta, Dia berusaha menguatkan prianya. Bagaimanapun ia juga mengerti perasaan Érique. Karena terabaikan itu tidaklah menyenangkan. "Ketahuilah bahwa aku mencintaimu,kak." Bisik Victoria. Semoga kalimat itu bisa menenangkan kakaknya. Érique tersenyum kecil dengan tingkah manis Victoria.

Mereka duduk di sofa berwarna hitam bercampur kuning keemasan. Suasana sangat tegang. Di depan mereka sudah ada sebotol tequila dan jus orange khusus untuk Victoria. John menatap sinis ke arah Érique seakan lelaki itu tak pantas untuk putrinya. John meneguk tequilanya. "Bagaimana karir modellingmu nak?" Tanya John pada putrinya.

"Aku suka segala tentangnya, tapi aku akan resign sebentar lagi. Ini semua demi kesehatanku. Kak Érique sangat mengkhawatirkanku." Jelas Victoria. John merasa kesal karena perkataan anaknya. Karir putrinya hancur karena mengandung anak pria di depannya.

"Sayang sekali. Padahal karirmu hampir menyamai supermodel." Ucap John. Dia sengaja menyindir Érique yang telah membuat anaknya sukses menjadi wanita tanpa karir. Satir atau sindiran ayahnya bisa dirasakan Victoria. Aura ketidaksukaan itu sangat jelas semenjak kedatangan mereka.

"Karir bukanlah kebahagiaanku. Aku lebih bahagia jika menjadi pendamping hidup kak Érique. Dia adalah pria yang baik dan pengertian." Ucap Victoria memuji kekasihnya. Dia tidak ingin ayahnya salah paham dengannya. Ide hidup bersama memang ada dalam daftar rencana hidupnya. Bukan karena paksaan Érique atau siapapun. Raut wajah John menggambarkan rasa jengkelnya.

"Kau bisa mendapat pria yang lebih baik." Kata John tanpa memikirkan perasaan Érique. Perkataan itu seakan menikam dan mencabik-cabik hati Érique. Penyataan itu sama saja dengan ia tidak pantas bersanding dengan Victoria. John kembali meneguk tequilanya. Rasanya puas melihat ekspresi kesal Érique.

"Érique adalah yang terbaik." Balas Victoria cukup lantang, membuat John terdiam sejenak karena perkataan putrinya. Dia tidak suka anaknya bersama detektif yang jelas berbahaya pada Victoria. Dia sudah mengenal Érique cukup lama. Namun, tak mengenali wajahnya. Saat ia tahu Érique datang bersama Victoria. John terus memancing amarah lelaki itu agar Victoria, anaknya melihat sisi buruk lelaki itu. Nyatanya sejak tadi Érique tak melakukan kekerasan apapun.

"Kau sudah masuk ke dalam zona berbahaya, nak." Balas John. Perkataan itu membuat semangat Érique sedikit menurun. Perkataan Ayah Victoria memang benar. Dia telah membawa Victoria masuk ke dalam dunia berbahaya. Itu benar dan sangat benar, penjahat tidaklah bodoh. Mereka pintar dan menyalahgunakan kepintarannya. Kalau penjahat bodoh tidak mungkin orang pintar seperti Érique harus terjun menangkapnya.

"Aku tidak percaya dengan zona berbahaya. Selama masih ada kak Érique, aku akan selalu berada di zona aman." Kata Victoria tak mau kalah. Perkataan itu sungguh meneduhkan hati Érique. Dia merasa bangkit kembali, Victoria memberinya tanggung jawab besar. Wanita itu percaya padanya. Dia tidak akan menyia-nyiakan kepercayaan wanitanya.

John meneguk minuman beralkohol nan pahit tequila dua gelas berturut-turut. Dia meminumnya layaknya air mineral. Victoria sudah terhasut dengan Érique. Dan inilah tantangan terbesarnya untuk memisahkan hubungan mereka. Victoria khawatir melihat tindakan ayahnya. "Pelan-pelan, Dad!" Seru Victoria. Meski tidak akrab, Victoria memiliki hubungan darah dengan lelaki itu. Dia tidak akan lahir tanpa lelaki itu.

"Ini hanya tequila." Balas John datar. Dia terlanjur kesal dan akhirnya mengeluarkan kalimat tidak masuk akal itu. Semua orang tahu bahwa tequila adalah minuman keras asal Italia yang sangat pahit. John berbicara seolah ia peminum anggur yang handal. Victoria kembali terdiam. Dia melihat raut wajah penuh amarah pada Ayahnya. Dia takut ayahnya semakin emosi jika membalas perkatannya.

"Aku berjanji akan melindungi, Victoria. Tak akan kubiarkan orang lain berbuat buruk padanya." Ucap Érique meyakinkan John. Kepercayaan dari Victoria membuatnya semakin semangat menjalani hidupnya. Dia berjanji akan melindungi Victoria dan tak akan mengecewakan wanita itu. John tersenyum miring saat mendengar ucapan Érique.

"Ku harap kau bisa memegang janjimu. Lelaki sepertimu hanya bisa berjanji. Kita lihat saja apa yang akan terjadi. Sedikit saja Victoria lecet, aku akan membunuhmu." Tegas John dengan pandangan melotot. Itu sungguh menakutkan bagi siapapun yang melihatnya. Érique sempat tegang karena ancaman ayah Victoria. John seolah tidak mempercayainya. Érique memang tidak yakin akan keselamatan Victoria. Tapi, Sebagai pendamping ia akan melakukan perlindungan semaksimal mungkin. Melindungi masyarakat dan juga Victoria.

Ruangan terasa panas, suhu udara yang tadinya sangat dingin berubah seolah sekarang musim panas. Menurut Érique, Berada di depan ayah Victoria lebih menegangkan daripada berada di tengah ribuan pembunuh berantai. John sangat tegas dan terkesan merendahkannya. Meyakinkan orang yang merendahkan itu sangat sulit, Bagaimanapun usahamu membuktikannya selalu ada celah untuk menjatuhkannmu. "Tak akan kubiarkan Victoria lecet." Balas Érique. Hanya kalimat itu yang mampu keluar dari bibirnya. Tak ada lagi yang bisa ia ucapkan. John terdiam, Berbicarapun percuma, mereka sudah saling jatuh cinta.

"Maafkan kedatangan kami Dad. Mungkin kami membuat Dad marah. Lebih baik kita lupakan pembicaraan ini. Dan beralih pada topik tentang alasan Dad memanggilku datang kesini." Ucap Victoria berusaha sesopan mungkin pada ayahnya. John mendongak menatap putrinya.

"Lupakan saja, Kalian membuat mood daddy jadi buruk." Balas John. Rencananya ia ingin menjodohkan Putrinya dengan pria kaya, anak dari rekan bisnisnya. Namun, semuanya berantakan saat melihat Érique. Suasana semakin lama semakin canggung. Hal itu membuat Victoria pamit pulang pada ayahnya. John membiarkan mereka pergi. Percuma menghalangi orang yang terlanjur dimabuk asmara, melihat mereka berdua hanya membuat John merasa jengkel.. Dia harus memikirkan cara yang lain agar mereka berdua berpisah.

***

Suasana mencekam masih terasa saat Victoria dan Érique meninggalkan kediaman John. Mereka berdua bagaikan pasangan yang baru pertama kali bertemu. Victoria melirik kakaknya yang sedang fokus mengendarai mobil. "Kita mau kemana kak?" Tanyanya. Mobil mereka tidak melaju ke arah jalan tol menuju Boston dan hotel tempat mereka menginap pun sudah lewat. Victoria tidak tahu kemana Érique akan membawanya.

"Kita akan ke tempat yang menyenangkan." Jawab Érique. Sore ini Érique ingin menyegarkan pikirannya dari tekanan ayah Victoria. Dia juga ingin bersenang-senang bersama Victoria. Karena bersama wanita itu, semua beban pikirannya berkurang. Wanita itu bagaikan cahaya sinar rembulan, menerangi malamnya yang gelap. Victoria kembali memandangi kakaknya. Dia tidak mengerti dengan jawaban Érique.

"Dimana itu?" Tanya Victoria, Érique hanya tersenyum manis. Cantiknya Victoria membuatnya merasa nyaman dan teduh. Semua bebannya melayang pergi entah kemana. Wanita itu memberikan sesuatu magic padanya. Érique mengelus perut wanitanya yang mulai buncit.

"Percayalah padaku, pasti kau akan senang jika kita sampai." Ucap Érique lagi. Victoria hanya bisa pasrah. Pria itu tidak pernah menjerumuskannya dalam hal negatif. Érique selalu bisa mengerti dirinya dan tidak akan membiarkannya berada dalam bahaya.

Perjalanan yang mereka tempuh menghabiskan waktu kurang lebih dua jam hingga mereka bisa sampai di Pantai SouthHampton. Pantai yang dulu menjadi saksi pertemuan Orlando dan Victoria. Tempat dimana Ayah serta ibunya menghabiskan waktu bersama. Untuk merayakan hari ulang tahun Érique. Mata Hazel milik Victoria berbinar. "Kau masih ingat tempat ini?" Tanya Érique dengan suara basnya. Victoria mengangguk. Dia merasa terharu.

"Aku tidak akan lupa hari itu. Hari dimana kak Érique memperhatikanku dan juga hari dimana aku mulai jatuh cinta pada kakak." Jawab Victoria apa adanya. Perlahan tangan Érique memegangi wajah Victoria. Matanya terpejam dan merapatkan bibirnya pada bibir wanitanya. Hasrat cintanya bagaikan api yang membara. Sentuhan yang awalnya lembut semakin lama berubah menjadi lumatan-lumatan penuh gairah. Keduanya larut dalam gelombang cinta yang sedang mereka arungi. Sore itu pantai sepi, hanya ada pasangan sama seperti mereka yang jumlahnya hanya bisa di hitung jari.

Nafas keduanya tak beraturan karena aktifitas panasnya. Mereka menyudahi kegiatannya itu setelah beberapa menit. Mereka melempar senyum satu sama lain, menertawai aktifitas bergairahnya. Untungnya mereka masih bisa menahan diri dan tidak melakukan kegiatan suami-istri di tempat itu.

"Aku ingin ke panta itu kak!" Seru Victoria dengan nadanya yang manja. Di usianya yang sudah dua puluh dua tidak merubah dirinya sama sekali. Érique mengangguk setuju pada wanitanya. Membuat Victoria tersenyum senang. Mungkin kata glad, happy, dan rejoice adalah tiga kata yang mewakili perasaannya.

"Oke, kita arungi pantai itu." Balas Érique. Kedua pasangan itu melepas pakaian hingga hanya pakaian dalam yang mereka gunakan. Hari ini mereka sangat bahagia melebihi bahagianya Princess Sleeping beauty saat bertemu pangerannya.

Kedua insan itu bermain-main di sekitar bibir pantai. Saling menghujani air satu sama lain, dan tertawa di selah aktifitasnya. Érique mengangkat tubuh Victoria dan memutar tubuhnya dengan gerakan cepat bagai angin puting beliung. Hembusan angin begitu menyekukkan. Victoria tertawa lepas karena aktifitas kekasihnya.

Setelah lelah, Érique duduk diam membiarkan gulungan ombak menabraknya. Dia mencoba mengatur nafasnya, aktifitasnya cukup melelahkan. Victoria menggodanya dengan mengibaskan air ke arahnya. Membuat Érique tersenyum dan mencoba mengejarnya dalam. "Hei jangan lari kau! Kalau aku menangkapmu takkan ku biarkan kau bernapas. Aku akan menciummu sampai puas." Teriaknya menggoda Victoria. Wanita itu malah terkikih dengan ancaman Érique. Dia terus berlari menghindari prianya hingga ia mulai lelah dan berjalan lebih pelan.

Hampir saja Érique menangkap tubuhnya. Victoria menghindar namun dirinya terjatuh diatas air. Érique menarik tangannya agar wanitanya tidak jatuh. Tapi tenaganya terkalahkan. Keduanya terjatuh di atas kumpulan air dengan Victoria berada di bawah. Mereka berdua beradu mata. Mata hitam dan mata Hazel itu saling mengamati satu sama lainnya.

Gulungan-gulungan ombak menerpah keduanya. Mereka tetap saling memandang dalam diam. Sentuhan tubuh mereka menimbulkan gairah yang tak tertahankan. Victoria memegangi wajah Érique. "Aku suka hari ini." Ucapnya singkat. Dia mengatakan apa yang ia rasakan. Saat itu juga ia melupakan perkataan Elizabeth dan saat kakaknya bertemu Bella. Semuanya sirna begitu saja. Keraguan, kebohongan, ketidaksetiaan semuanya berubah. Pandangannya tentang Érique kembali sama seperti dulu. Pria itu tidak pernah berubah dan selalu setia padanya.

Aku tidak ingin waktu berjalan, Aku ingin tetap seperti ini, Aku ingin waktu diam konstan, Aku menyukai saat-saat seperti ini. Aku mau seperti ini. Selalu menatap wajahnya di setiap detik ke bersamaan kami. Batin Victoria.

Langit mulai menggelap, bukan karena akan hujan melainkan karena memang sudah waktunya matahari untuk berotasi. Cahaya biru langit meredup berlawanan dengan awan yang masih terlihat segar, berwarna putih bercampur warna orange. "Aku juga menyukai hari ini." Balas Érique. Lelaki itu bangkit dan menarik tangan Victoria agar wanita itu ikut bangkit. Melihat wajah cantik Victoria membuatnya tidak tahan untuk mengecup bibirnya. Aktifitas yang sama sebelum mereka ke pantai kembali terulang. Respon tubuh mereka sangat cepat, itu adalah satu dari banyak pembuktian betapa tulus cinta mereka. Cinta mereka tidaklah suci, mereka adalah pasangan yang saling mengotori untuk membuktikan ketulusan cinta. Tidak semua cinta harus suci, meski cinta yang suci lebih bermoral di mata tuhan dan lebih tinggi nilainya.

Érique membawa Victoria menuju mobilnya. Mereka ingin mengganti pakaiannya lalu mencari penginapan terdekat. Untungnya sebelum berangkat ke rumah mewah Ayah kandung Victoria, mereka terlebih dahulu singgah di pusat perbelanjaan. Semuanya sudah di atur oleh Érique. Dia bisa membaca situasi. Dulu saat SMA, ia pernah ke rumah pria itu dan menyadari bahwa John adalah pria yang pemilih. Bahkan pertemanannya dengan Orlando di urusi olehnya. Untungnya, dia anak Givanno dan Taylor. Model tersohor kala itu. Alhasil dia di ijinkan berteman dengan Orlando.

"Setelah ini kita ke hotel. Aku tidak sabar untuk melakukan ritual mingguan kita." Ucap Érique membuat Victoria tersenyum. Dia mengerti maksud kalimat ambigu kekasihnya itu. Mereka berbeda dengan pasangan dewsa lainnya yang melakukan kegiatan intim setiap harinya. Mereka justru melakukannya sekali seminggu atau sekali dalam dua minggu. Hal itu dilakukan agar tak ada rasa jenuh diantara keduanya. Terbukti sekarang mereka baik-baik saja selama 4 tahun tanpa ada pihak ketiga dan semoga saja tidak ada.


Baca lengkap cerita Mon Amour Victoria Bab 6-30 di aplikasi Innovel. Download aplikasinya sekarang di Play Store: Download Sekarang 

Link Mon Amour VictoriaKlik aku






 


Comments

Popular Posts