Skip to main content

Featured

Jin BTS akhirnya selesaikan wajib militernya sebagai warga negara Korea Selatan

Seoul , Kabar gembira bagi ARMY di seluruh dunia! Kim Seokjin atau lebih akrab disapa Jin, anggota boygroup BTS berhasil menyelesaikan wajib militernya.  Mengutip the KoreaTimes, tampak Jin mendapatkan buket bunga saat meninggalkan acara perayaan 5 tahun Divisi Infanteri Angkatan Darat di Yeoncheon, (12/06).  Dalam acara itu, Jin sempat reuni dengan 5 member BTS lainnya yang masih menjalankan wajib militer yakni; V, Jungkook, Jimin, J-Hope, dan RM.  Disebutkan Suga, satu-satunya member yang absen pada acara tersebut.  Kepada media, Jin menyapa Army dengan berkata, " Hai, ARMY !" sambil tersenyum.  Perayaan privat Jin ini menandakan kemungkinan Jin akan segera kembali ke industri hiburan lagi seperti biasa.  Tentu saja itu berita baik bagi penggemar BTS. Hal itu bisa dilihat dari ucapan selamat yang tidak berhenti diucapkan ARMY kepada Jin.  Bagaimana? Apa kamu termasuk yang ARMY itu? 

Terpaksa Menikah dengan Ustadz Ganteng Bab 1


Terpaksa Menikah dengan Ustadz Ganteng (Judul di Facebook)

Untuk Ayselina (Judul Novelme)

Part 1

Aysel POV
             
Tepat di hari kelulusan SMA-ku, aku dilamar anak teman Abi. Kupikir aku akan kuliah di Amerika Selatan, tapi nyatanya tidak. Abi tampaknya akan menerima lamaran laki-laki yang ada di hadapanku saat ini. Sosok pria yang sepertinya polos dan tak tahu dunia hura-hura. Selera Abi sungguh rendahan, sangat kuno. Aku tak hentinya menatap jengkel laki-laki itu. 
           
"Bagaimana Aysel? Kamu suka ‘kan sama Yusuf?"
            
Pertanyaan Abi seolah memaksaku mengatakan iya. Aku tidak tahu harus berkata apa. Jujur aku ingin marah tetapi aku juga tidak ingin mempermalukan Abi di depan temannya. Terpaksa aku mengukir senyum seolah aku terpaku pada lelaki itu. Kalau aku bertingkah seperti ini, lelaki yang bernama Yusuf beserta orang tuanya segera pergi dari hadapanku.
            
"Aku tidak tahu, Bi. Mungkin aku harus mempertimbangkannya dulu beberapa hari. Aku tidak mau salah mengambil keputusan," ucapku lembut meski sebenarnya hatiku dengan tegas menolak permintaan Abi.
          
Hatiku menangis membayangkan harus menikah dengan laki-laki seperti Yusuf. Lelaki yang mungkin tak pernah memakai celana jeans, lelaki yang menghabiskan waktunya di Mesjid dan lelaki yang suka berceramah. Bagaimana jadinya jika aku dipaksa pakai cadar? Aku pasti menderita lahir dan batin.
           
"Itu ide yang bagus, Nak. Dalam memilih pasangan kita memang tak boleh gegabah. Pak Hamid, jika berkenan tolong Anak saya diberi waktu untuk berpikir." kata Abi sopan. 
           
Aku melirik Yusuf, aku penasaran melihat ekspresi wajahnya. Pasti laki-laki itu kesal akan permintaanku. Setelah memalingkan wajahku ke arahnya, aku salah besar. Yusuf malah tersenyum manis lalu berkata, "Saya akan memberi waktu padanya. Saya tidak memaksa jawabannya sekarang. Aysel pasti butuh waktu, apalagi dia juga belum terlalu mengenalku."
           
"Iya, Pak Sean. Putrimu berhak memilih calonnya sendiri. Saya hanya berharap waktunya tidak lama, agar kami bisa mencarikan calon yang lain untuk Yusuf." Pak Hamid, Ayah Yusuf menambahkan. Obrolan mereka semakin lama semakin panjang. 
           
Aku pamit ke toilet sebab tak tahan berada di dekat mereka. Setelah pertemuan ini, aku akan menolak tegas permintaan lamaran ini. Aku bukan Siti Nurbaya,  aku tidak sudi di jodoh-jodohkan.
        
Aku tidak tahu apa lagi yang mereka perbincangkan. Aku langsung masuk kamarku dan menonton channel Thrill kesukaanku. Channel yang menampilkan film horor di siang hari. Aku duduk malas. Indonesia seperti sedang diuji dengan maraknya perjodohan usia dini. Hari yang sial! 
           
Di depan TV, aku merenungi nasibku, memikirkan cara agar Abi mengerti kondisiku, agar beliau bersedia menolak lamaran Yusuf. Siapa dia? Apa dia tak pernah berpacaran sampai harus melakukan tradisi kuno zaman Siti Nurbaya?  Aku bahkan bisa mendapatkan lelaki yang jauh lebih tampan darinya.
          
Aku keasyikan menonton TV sampai tak menyadari seseorang masuk di kamarku. "Ciyee, yang mau nikah. Baru aja lulus SMA udah dapat lamaran. Ceritanya kamu langkahin abang nih!" seru Kakak Sulungku. 
        
Dia mendekatiku sambil sumringah menggodaku. Melihatnya justru membuatku merasa jengkel. Namanya Noah. Abi memberinya nama itu sebab Abi menginginkan Abangku seperti pribadi Nabi Nuh yang sabar dan cerdas.
          
Sekadar informasi, Noah memiliki segalanya sampai aku iri padanya. Dia kuliah di Oxford University dan mendapat beasiswa berprestasi di sana. Hmm, keren.
             
"Siapa yang mau nikah? Aku mau kuliah dulu kali. Abang pikir cuma Abang yang bisa kuliah di Oxford?" Aku sebenarnya tidak mau kuliah di Inggris. Mungkin akan lebih bagus kalau aku kuliah di Amerika Latin.
           
"Memangnya kau bisa? Bukannya kau cuma bisa menangis? Jiwa kau itu cocoknya jadi Ibu rumah tangga. Nikah saja sana sama si Yusuf. Eh salah om Yusuf.. hahaha!" Dia meledekku. Yusuf, lelaki yang dijodohkan denganku sudah berusia 27 tahun sementara aku baru 19 tahun.
             
Aku semakin geram dengan godaan Noah. Aku melemparinya dengan bantal. "Siapa yang mau nikah sama dia? Aku tidak mau nikah. Abang aja sana nikah sama si Yusuf!" kesalku sambil memukul punggungnya ala Cherrybelle versi keras dan kasar.
            
Tiba-tiba Abi masuk ke kamarku. Beliau menghentikan aktivitasku memukul Noah--membuatku cemberut. Abang Noah menjulurkan lidahnya lalu berlari keluar dari kamarku. Aku merajuk, jika tidak ada Abi mungkin aku sudah membunuh saudara yang jahat itu. 
          
"Kenapa sih Aysel? Kok kamu sampai segitu marahnya sama Abang kamu. Untung Yusuf dan Ayahnya sudah pulang. Sekarang cerita sama Abi." Aku duduk di pinggir ranjangku, mencoba menenangkan diriku. 
        
"Abang meledekku, Bi. Dia bilang aku mau nikah padahal aku tidak mau, Bi. Jujur ya, aku mau kuliah dulu. Mau punya karir yang bagus dulu baru menikah. Abi, aku mohon agar Abi bersedia menolak lamaran Yusuf. Aku tidak kenal dia, Bi. Bagaimana kalau aku di apa-apakan? Bagaimana kalau ternyata Yusuf itu penjahat kriminal? Tolong, Bi. Aysel belum siap menikah." Aku memelas. 
           
"Kamu tidak mau menikah sama Yusuf? Lalu apa maksud kamu dengan meminta waktu? Apa yang membuatmu tidak suka padanya, Aysel? Dengar, Nak. Banyak lelaki tampan di dunia ini tetapi lelaki seperti Yusuf itu sangat jarang. Dia bahkan lulusan Universitas Kairo, memang bukan Al-Azhar tapi Abi yakin ilmu agamanya bagus. Abi tidak mau memaksamu namun Abi hanya memberikan pandangan padamu. Yusuf itu ibarat matahari, cahayanya mengalahkan ribuan bintang, Dia berbeda dari kebanyakan. Bukan lampu jalan yang cahayanya hanya sebentar. Sebenarnya Abi sudah lama menginginkan menantu sepertinya. Namun jika kamu tak menyukainya, Abi bisa apa? Jika Abangmu perempuan maka Abi sudah menjodohkannya dengan Yusuf. Tapi kenyataannya bukan." Abi bermuram. 
         
Aku merasa bersalah pada Abi. Aku tidak tega menyakitinya, dia bahkan mengandaikan kakakku Noah sebagai perempuan saking sukanya dengan kepribadian Yusuf.
          
"Aku mau kuliah, Bi." Aku sedih. Tanpa terasa air mataku menetes, aku merasa dilema. Harus mengikuti egoku atau membuat Abi senang. Yusuf memang incaran wanita muslimah, lelaki yang taat pada agama dan mapan. Orang seperti Abi pasti menginginkan lelaki yang terbaik untukku. 
          
 Sayangnya, Aku dan Abi memiliki pandangan yang berbeda. Aku sama sekali tidak menyukai lelaki yang terlalu Agamawan. Aku suka pria moderen.
         
 Kurasakan Abi menyeka air mataku dengan lembut lalu berbisik. "Abi tidak akan memaksamu, Nak. Abi akan bicara dengan Pak Hamid. Tunggulah sampai dua hari. Jika Abi katakan sekarang, takutnya Pak Hamid tersinggung." Abi sedih.
          
 Abi melangkah pergi dengan langkah yang begitu lambat. Aku bisa merasakan aura kesedihannya menyebar dalam ruangan kamarku. Aku pilu melihat Abi bersusah hati. Apakah aku harus mengorbankan perasaanku? Tuhan, ini sungguh sulit untuk kujalani. Aku mengembuskan napasku untuk membuat diriku tenang, namun airmata yang terus mengalir membuatku malah semakin tidak tenang. 
     
Aku tak bisa berkata-kata lagi sampai aku menangis dengan keras dibalik bantal guling. Maafkan aku Abi, aku juga butuh hidup bahagia. Malam harinya, Umi masuk ke kamarku dan memanggilku untuk makan malam. Aku mencuci wajahku bersih lalu bergabung di ruang makan. Di sana, Abi sibuk makan sendiri tanpa melirikku sama sekali, Abang Noah pun tidak sejail tadi siang bahkan dia menatapku dengan tatapan malas. 

 Aku merasa telah melakukan dosa besar. Haruskah aku menikah dengan Yusuf? Bagaimana dengan karirku? Masa depanku? Perlakuan Abi dan Abang Noah sungguh membuatku sedih. Aku diam sampai Abi selesai makan.

"Kamu kenapa Aysel? Kenapa tidak makan? Kamu harus makan biar sehat." Abi berucap seolah semuanya baik-baik saja. Aku tahu jikalau dalam lubuk hatinya, dia menyimpan kekecewaan besar padaku.

"Iya, aku akan makan, Bi." balasku dengan mata menggenang. Abi pergi meninggalkan ruang makan. Umi menatapku dengan tatapan simpatinya. Dia memintaku makan, aku makan meski segalanya terasa tidak enak. 

Tiba-tiba Abang Noah berceloteh, "Abi itu cuma mau yang terbaik untuk kamu, Aysel! Abang juga tadi hanya bercanda. Lagipula kalau kamu menikah maka Abi dan Abang bisa tenang. Yusuf itu lelaki yang baik. Kamu itu mau cari lelaki yang seperti apa sih? Mau cari yang preman? Kamu sudah menyakiti Abi, Aysel! Abang juga kecewa sama kamu," Abang Noah menegaskan lewat kalimat yang begitu menusukku. Aku merasa terpojok, tampaknya menikah adalah pilihan terbaik untuk hidupku. Abi dan Abang Noah sudah sangat setuju dengan kak Yusuf.

"Noah, sudah. Adikmu punya hak menentukan masa depannya. Jangan membuat Adikmu tertekan. Aysel, Jangan diambil hati ya, ucapan Abangmu.” Umi menyela. Aku mengangguk berusaha menyembunyikan keperihan hatiku. Abang Noah juga meninggalkan ruang makan, menyisakan aku dan Umi. 

Hanya Umi yang mengerti perasaanku saat ini. Umi mengelus punggungku untuk membuatku tenang. "Haruskah aku menikah, Umi? Aku juga ingin kuliah. Ya, aku memang tidak pintar tetapi aku akan berusaha belajar," tuturku murung. Umi memegangi pipiku lalu tersenyum manis.
"Tidak salah jika kamu ingin kuliah, Nak. Kamu berhak melakukannya. Abi dan Abangmu pasti mengerti pilihanmu. Percayalah, mereka hanya ingin kamu bahagia," tukas Umi lembut. Belaian hangat dari Umi membuat hatiku tenang, kuharap perkataan Umi benar.

☆☆☆

Meski Umi berada dipihakku, Namun semalaman aku tak bisa tidur. Ucapan Abi dan Abang Noah terus terbayang dalam pikiranku. Mereka mendekskripsikan Kak Yusuf dengan sangat baik. Jika dipikirkan lagi, Kak Yusuf memang punya nilai lebih dari lelaki lainnya. Aku mulai membayangkan hidup bersamanya, aku sama sekali tak menemukan keburukan dalam menjalin hubungan dengan pria seperti dirinya. 

Aku mulai plin-plan dalam memilih jalan hidupku sendiri. Sedikit godaan muncul dalam diriku, dorongan dari lubuk hatiku yang paling dalam hadir dengan keinginan untuk menerima lamaran Kak Yusuf. 

Jika diingat kembali, Kak Yusuf tidaklah jelek. Dia cukup menawan, sedikit Teuku Wisnu juga sedikit Jamie dornan. Hanya saja, aku agak risih dengan penampilan kunonya. Baju kokoh dan peci putih di kepalanya. Terlihat norak di mataku. Namun secara keseluruhan, dia masuk standar suami idealku. 

Tersadar, Aku memukuli kepalaku karena membayangkan dirinya. Aku bangkit dan mencari keberadaan Abi. 

Aku menemukan Abi di teras rumah sedang membaca Koran ditemani kopi hitam. Aku menggigit bibir bagian bawahku karena gugup. Aku berubah pikiran, sesuatu telah merasukiku dalam satu malam. Seperti Voodoo tapi aku yakin bukan. Aku dirasuki makhluk yang baik.
"Abi--" panggilku. Abi melipat korannya, melepas kacamata minus-nya lalu memandang ke arahku.

"Ada apa, Aysel? Katakanlah!" perintahnya halus. Abi terlihat sangat serius. Aku menghela napas lalu mengambil tenaga sebelum bicara.
"Aku ingin bicara." Aku gugup--mengambil duduk di kursi sebelah Abi. "Aku. bersedia menikah dengan Kak Yusuf. Aku bersedia mewujudkan keinginan Abi. Aku sadar, kalau Abi ingin yang terbaik untukku." Kulihat Abi membulatkan matanya, seolah tak percaya dengan ucapanku.

"Apa Abi tidak salah dengar? Kamu ingin menikah dengan Yusuf? Kamu serius?" Abi antusias, aku mengangguk. Dia sangat bahagia. Kesedihan yang kulihat semalam seolah sirna dari matanya.

Dari jauh, Kulihat Abang Noah berlari ke arah kami. Dia baru saja jogging pagi. Dia sungguh lelaki yang maskulin, tubuhnya sangat atletis, dan sangat tampan. Mirip model kelas atas dunia favoritku, Fransisco Lachowski waktu umur dua puluh tahun. 

"Aysel bilang apa lagi, Abi?" Abang Noah sinis. Pertanyaannya seperti ingin melahapku. Suara Abang Noah sangat khas seperti raungan harimau. "Begini, No. Adikmu ingin menerima lamaran Yusuf. Adikmu menuruti kemauan Abi," jelas Abi.

"Masa sih, Bi? Bukannya kemarin Aysel menangis pas diledekin mau nikah?" Noah sama sekali tidak percaya aku mau menikahi lelaki muslim. 

"Abi juga tidak tahu,  Aysel saja deh yang jawab pertanyaan kamu." 

Abang Nono alias Abang Noah mengalihkan pandangannya padaku. "Kenapa berubah pikiran? Takut Yusuf diambil orang? Makanya jangan gegabah ambil keputusan. Untung Abi belum bilang ke Pak Hamid." Abang Noah ketus. Perkataan kakak kandungku itu  membuatku kesal. Kalau aku bisa, mungkin sudah kurobek mulutnya sejak tadi.

"Terserah aku, yang dilamar ‘kan aku bukan Abang. Sekolah saja dulu sana tak usah sok ganteng punya pacar bule," ledekku padanya. Terakhir kali, aku melihat walpaper ponsel Abangku yang menampilkan gadis berambut pirang. Cukup cantik, entah sihir apa yang dia gunakan sampai bisa menjerat gadis luar negeri. 

"Memang aku ganteng kok!" katanya percaya diri. "Kalau tidak ganteng mana mungkin bule pada nempel," lanjutnya membuat perutku rasanya melilit mendengarnya.

"Kamu benar punya pacar bule, No?" tanya Abi. Noah tidak sadar telah membongkar rahasianya. "Iya, Bi. Namanya jasmine." sahutku. Noah menatapku tajam. Aku berlari meninggalkan mereka. Aku sempat melihat ekspresi kesal Abang Noah. Abi tidak suka jika kami menikah dengan orang luar negeri, apalagi orang Eropa dan Amerika. 

Abi ingin aku dan Abang memiliki pasangan yang seagama, memiliki ilmu agama Islam yang dalam, dan lulusan pesantren atau semacamnya. Abi sempat menyesal karena Abangku kuliah di Cambridge, tidak ada yang memantaunya di sana. Namun, Abang menegaskan jika dia tidak akan berubah, menurutnya di manapun kita berada, selagi kita punya Iman yang kuat maka godaan apapun akan terhindarkan. Orang yang kuliah di Eropa adalah orang cerdas bukan orang bodoh.
Aku tertawa penuh kemenangan. Mendadak aku teringat akan Kak Yusuf. Aku langsung mandi dan mengirim pesan jika aku ingin bertemu dengannya. 

Aku langsung masuk kamar mandi tanpa menunggu balasan darinya. Aku hanya berharap dia mau bertemu denganku. Ada banyak hal yang ingin aku bicarakan empat mata padanya. Sebelum menikah aku ingin mengajukan persyaratan padanya. Jika dia lelaki baik-baik maka dia pasti setuju dengan persyaratan yang aku berikan. Ya begitulah, menurutku.

Usai mandi, aku memakai pakaianku. Baju lengan panjang dan juga rok yang cukup panjang. Tak lupa selendang pink untuk menutupi rambutku. Bagaimanapun juga, aku harus menyesuaikan penampilanku dengan pribadi si Yusuf. Akan sangat aneh jika aku bertemu dia dengan gaun seksi yang menampilkan belahan dadaku. Pasti dia akan membatalkan lamarannya saat itu juga. 
Aku melakukan ini semua demi kebahagiaan Abi. Aku rela melakukan apapun untuknya. Aku tahu mencintai sangat sulit, namun aku sedikit menyadari jika mencintai lelaki yang baik hati tak akan sulit.

Yusuf setuju bertemu denganku, dia membalas pesanku tiga menit yang lalu. Dia ingin bertemu di taman dekat sekolahku dulu. kebetulan di sana ramai jika siang hari. Aku bisa menebak jika Kak Yusuf pasti tak ingin ada fitnah di antara kami. Aku mengiyakan pesannya dan berangkat ke taman itu. 
"Kamu mau kemana, Nak?" 

Abi bertanya saat aku berada di depan rumah. "Ada janji sama Yusuf, Bi. Aku berniat bertemu dengannya hari ini untuk memperjelas keputusanku," ucapku. 
Abi tampak berpikir, Abang Noah yang berada di dekat Abi sebaliknya tampak murung, wajahnya memelas. 

Aku yakin Abi pasti memintanya memutuskan pacar bule-nya. Lapangkanlah hatimu abang Nono. "Ya sudah, kamu hati-hati ya," seru Abi. "Oke, Abi. Assalamu alaikum," pamitku. Abi dan Abangku menjawab salamku bersamaan sehingga aku bisa berangkat.

Sesampainya di taman, aku memarkirkan mobilku lalu memandangi Yusuf dan dua orang yang dibawanya. Satu lelaki tua dan satu wanita tua. Aku bingung dengan tingkahnya, aku minta bicara empat mata malah membawa dua pasukan. 

Aku mendengus kesal, sedikit illfeel. Lelaki seperti Kak Yusuf memang agak aneh. Kupercepat langkahku menuju arahnya. Kak Yusuf tersenyum padaku lalu sedetik kemudian menatap arah lain. Aku sedikit tersinggung dengan tindakannya.

"Assalamu alaikum "

"Wa alaikum salam, Aysel.”

Bergeming beberapa saat, ia pun bicara, “Kamu mau bicara di mana? Maaf aku bawa Pak Tabir dan istrinya sebagai saksi pertemuan kita. Aku tidak mau ada fitnah. Oh iya, bagaimana kalau kita bicara di bawah pohon sana saja. Pak Tabir akan memantau kita dari sini," ajaknya sambil menunduk tak menoleh ke arahku. Aku merasa tindakannya cukup berlebihan. Apa sebegitunya dia takut dosa?

"Ya sudah, aku juga tidak nyaman jika bicara di sini," balasku sedikit cuek. Awalnya aku datang dengan semangat membuncah. Namun ketika Yusuf tak mau melihat penampilanku, aku merasa konyol, ada kekesalan yang timbul dalam hatiku. Aku seperti ditolak olehnya. Setidaknya aku calon istrinya, dia bebas melihatku. 

"Pak Tabir, Nyai, saya pergi dulu. Silahkan pantau dari sini," decitnya sebelum pergi. Dia bertingkah seolah aku akan memperkosanya, terlalu berlebihan! Mana ada laki-laki diperkosa. Dasar kuno!

Di bawah pohon aku duduk bersamanya pada jarak yang cukup jauh. Kami seperti pasangan yang akan bercerai. Ini semua karena perintah Yusuf yang berlebihan. Aku malah menjadi canggung harus memulai obrolan dari mana. Habisnya segala sesuatunya dikaitkan sama agama. Aku jadi ragu mau bicara,
Untungnya dia berinisiatif untuk memulai obrolan kami. "Jadi, apa yang ingin kaukatakan, Aysel?" tanyanya lembut.

"Begini, Kak. Aku--, Aku sudah memikirkan lamaran Kakak, aku sudah memutuskan jika aku bersedia menjadi istri kakak. Tapi kalau boleh, aku meminta syarat. Apa kakak mau mengikutinya?" Aku bertanya sedikit ragu ditambah dengan kegugupanku. Aku tak berhenti memandangnya. Meski dia tak melihat ke arahku tetapi aku bisa menyaksikan dia tersenyum. Senyum? Hanya itu reaksinya? Aku bahkan membayangkan dia melompat-lompat.
"Katakanlah, Aysel! Jika kakak bisa lakukan maka kakak akan menyetujuinya." 

"Setelah kita menikah aku tidak ingin kakak poligami, aku tidak mau kakak membagi cinta kakak. Dan yang kedua, mungkin ini akan sulit karena-" ucapku terpotong. Aku semakin ragu mengatakannya.

"Apa itu? Apakah itu tantangan untukku?" Ia penasaran.

"Bukan, ini masalah hijab. Aku belum siap memakainya Kak. Aku butuh waktu untuk menyesuaikan diri, tapi aku akan berusaha memakainya perlahan." Kak Yusuf tampak menyernyit, perkara ini pasti sulit, karena ini menyangkut kewajiban Tuhan. Menurut Abi, Kak Yusuf menghafal beberapa jus Al-qur'an. Tidak semua, hanya beberapa surah saja. Aku yakin dia pasti menolak permintaanku. Dia pasti akan marah.

Kak Yusuf tercenung sejenak, membuat suasana sedikit dramatis. "Kakak akan menyanggupinya. Asal kamu mau berusaha memakainya. Hijab bukan perintah kakak tetapi perintah Allah, setiap muslimah diwajibkan memakainya. Ketahuilah, hijab itu banyak mamfaatnya," tutur Kak Yusuf sedikit berceramah.

"Terima Kasih sudah mengerti keadaanku, Kak. Aku, aku tidak menyangka kalau kakak akan menyanggupinya." Aku lega dan tersenyum. "Sama-sama. Aku hanya berharap kita akan menjadi pasangan yang utuh tanpa perceraian," balas kak Yusuf. Aku tersenyum, kemudian teringat satu hal. Sesuatu yang sangat penting bagiku. 

"Kak--" 

"Ya," 

"Aku ingin menambahkan sesuatu. Ini masalah pernikahannya, apa kakak setuju jika kita menikah siri? Aku baru saja lulus SMA, Kak. Aku belum siap mengumbar pernikahanku. Takutnya orang berpikir aku MBA*," jelasku. 
Persyaratan yang kuberikan pasti sangat memberatkan kak Yusuf, aku mendadak tidak enak padanya. 

(*MBA = Married Because Accident)

"Jujur ini sangat berat, Aysel. Bagaimanapun menikah tidak harus disembunyikan. Dampak buruknya akan sangat besar, orang bisa menyangka kita tidak menikah dan malah berbuat zina," imbuhnya membuatku sedikit kecewa. "Tetapi kalau itu permintaanmu, aku akan bicara sama papa dan mamaku dulu. Kamu tahu kan, kalau aku tkdak mau bertindak sendirian. Takut salah langkah." tambahnya. Aku hanya mengangguk, meski kecewa. 

Aku bingung dengan diriku, di satu sisi aku ingin menikah dan di sisi lain aku juga tidak bisa. Ya Allah, bantulah aku. Obrolan kami berakhir dengan perbincangan mengenai sekolahku dan lainnya. Aku berpamitan pulang padanya dan kembali ke rumah, memberitahukan Abi untuk mengadakan pertemuan dengan Pak Hamid Ayahnya Kak Yusuf. Penentuan tanggal pernikahan dan waktunya. Ditambah lagi syarat tentang pernikahan siri, semoga semuanya lancar.

Cerita ini bisa dibaca di aplikasi Novelme dengan judul Untuk Ayselina:  Baca di Novelme ya Kak. https://share.novelme.id/starShare.html?novelId=16131&chapterId=null

Comments

Popular Posts